3 Luna

274 56 8
                                    

Tidak pernah ada yang memberitahunya bahwa hamil itu rasanya seperti ini. Aroma-aroma yang dulu dia sukai kini membuatnya ingin muntah. Santapan-santapan yang dulu memanjakan lidahnya—termasuk brownies sederhana buatan Adam—kini dihindarinya sekuat tenaga. Dia belum lupa ekspresi Adam beberapa hari lalu ketika mendapatinya membungkus kue cokelat itu rapat-rapat lalu menyembunyikannya di sudut rumah agar aromanya tidak tercium.

Pria itu tampak terluka.

"Kalau kue yang paling kamu sukai aja nggak dimakan, terus kamu mau makan apa?"

Luna sendiri tidak tahu jawabannya. Dia tidak menghendaki ini. Dia tidak ingin merepotkan suaminya terus-menerus. Dia tidak bermaksud menyakiti perasaan orang yang peduli padanya. Dia merasa tidak berdaya. Dia bahkan tidak tahu sampai kapan dia akan begini, membuat orang-orang mengkhawatirkannya tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia juga merasa bersalah kepada mertuanya. Bagaimanapun juga, rasanya tidak pantas menantu cuma duduk-duduk seharian tanpa melakukan apa-apa, sementara mertuanya sibuk membereskan rumah dan kekacauan yang ia perbuat.

Bunyi skuter matik Adam mendekat. Tak ada yang lebih melegakannya selain jam pulang kerja sang suami. Jam kerja Adam terasa begitu panjang dan ketidakhadirannya di rumah membuat canggung. Saat dia pulang, setidaknya ada yang mengajak Umi bicara tentang hal-hal yang relevan baginya. Luna selalu buruk dalam bersosialisasi. Itu sebabnya dia menempuh jalan yang sama dengan kakaknya, hanya saja tidak berencana membuka kliniknya sendiri dalam waktu dekat. Dia hanya ingin bekerja dengan orang lain dan tidak perlu mengurus administrasi. Kalau perlu, tidak usah bicara dengan si pemilik hewan, hanya bicara dengan hewannya.

Tiba-tiba dia merindukan klinik kakaknya. Sudah lama sekali rasanya tidak masuk kerja, meskipun sesungguhnya baru dua minggu belakangan Venus menyuruhnya cuti. Luna belum memberi tahu kakaknya tentang kondisi kehamilannya, tetapi sepertinya Adam yang mengajukan cuti untuk Luna. Venus pasti segan menolak permintaan Adam. Sekalipun dia kesusahan selama Luna tidak masuk kerja, dia tetap tidak akan mengutak-atik "titah" dari Adam.

Luna berharap kakaknya masih memiliki sedikit sifat manja seperti dulu. Sekarang, meskipun tidak diakui Venus sendiri, Luna bisa melihat usaha kerasnya untuk berjuang sendiri tanpa minta tolong siapa-siapa.

Adam masuk sambil mengucap salam. Ia menanggalkan jaketnya dan menghampiri Luna yang berbaring lesu di sofa.

"Gimana, Dik? Masih mual?" Adam membungkukkan badan untuk mengecup dahinya. Luna menahan napas agar tidak perlu mengendus aromanya. Bagai kutukan, dia juga akan muntah setiap kali mencium aroma tubuh dan parfum Adam. Seakan-akan kehadiran janin di rahimnya justru memisahkan mereka berdua.

"Cuma kalau dekat makanan aja kok mualnya."

"Aku sudah daftar antrean dokter kandungan. Dr. Adisatya. Malam ini jam tujuh. Antrean nomor 19."

"Dokternya cowok?" tanya Luna. Matanya membelalak.

Adam mengacak-acak rambutnya yang lepek akibat memakai helm. "Kamu nggak suka?"

"Kalau bisa cewek sih, malu kalau sama cowok."

Adam duduk di sofa lain yang lebih pendek dan mengeluarkan ponselnya. "Dokter cewek ada, tapi malam ini praktiknya di rumah sakit yang lebih jauh. Gimana? Aku kepinginnya kamu cepat diperiksa, biar masalahnya cepat teratasi."

Luna tidak ingin merepotkan lebih jauh, jadi dia menyetujui dokter pilihan Adam.

Umi muncul dari ruang belakang. "Makan, Dam?"

"Iya, Mi."

"Suaminya diurusin makannya, Luna," kata Umi lalu kembali ke belakang. "Kamu juga dipaksain makan walaupun sedikit."

Eternityحيث تعيش القصص. اكتشف الآن