15 Venus

173 49 34
                                    

Tempat pelesir kami seketika berubah menjadi TKP. Sungguh aneh menemukan mayat di rumah yang katanya sudah kosong selama empat dekade. Mayat itu memang tidak lagi segar karena tinggal tulang-belulang, tetapi dari tempat ditemukannya, orang paling lugu pun bisa langsung menyimpulkan bahwa si mayat tidak berakhir di sana begitu saja.

Ruang yang kami masuki adalah ruang koleksi milik adik Oenang. Benda-benda antik dan aneh berjejalan di lemari-lemari kaca, dan lemari-lemari kaca berjejalan di antara benda-benda antik yang lebih besar. Di antara perabotan yang berjejalan itu terdapat gulungan permadani yang sudah lapuk. Semua orang yang memasuki rumah ini diminta untuk tidak menyentuh benda apa pun yang merupakan bagian dari rumah (semoga kulit ari ular tidak termasuk), dan Giga sungguh-sungguh tidak berniat menyentuh gulungan permadani di pojok ruangan, tapi ada yang aneh.

Pada lantai di bawah gulungan permadani itu terdapat genangan kecil gelap. Genangan itu lebih pekat daripada genangan air tempias dari atap. Genangan itu mengering dan lengket di lantai, dan Giga tahu ada yang tidak beres.

Ia meminta petugas kepolisian yang ikut dalam rombongan untuk mengecek. Mereka sepakat memang ada yang aneh dengan permadani itu dan si polisi meminta bantuan untuk membukanya. Pemeriksaan itu direkam oleh Giga, kalau-kalau pemeriksaan lebih lanjut diperlukan. Gulungan permadani dibaringkan di lantai. Ketika dibuka, ribuan serangga dari berbagai spesies berhamburan keluar, meninggalkan kerangka manusia di tengah.

"Holy shit!"

Sang polisi menelepon markasnya dan meminta kami menghentikan seluruh aktivitas penggeledahan dan perekaman. Kami kembali ke luar pagar karena polisi sudah memasang pita kuning mengelilingi pagar rumah itu.

"Jelas-jelas itu bukan gelandangan yang cuma numpang berlindung di rumah ini," gumam Herman. Giga menyetujuinya.

"Ada hal-hal yang kepengin gue pastikan sebelum menebak apa yang terjadi pada tulang-tulang itu."

"Contohnya?" Herman menyalakan rokok.

"Contohnya apakah permadani itu berasal dari rumah ini atau dibawa dari luar."

"Menurut gue itu nggak berpengaruh banyak. Apalagi kalau pembunuhannya sudah terjadi sepuluh tahun lebih, misalnya."

"Menurutku ada pengaruhnya, kok," bantahku. "Ahli entomologi forensik bisa menyusuri jejak siklus hidup serangga yang berperan dalam penguraian mayat dan memprediksi waktu kematiannya. Jika pada mayat juga ditemukan serangga yang hanya khas hidup di rumah ini, ada kemungkinan permadani itu... milik rumah ini. Hal yang sama juga berlaku seandainya permadani itu dibawa dari rumah pelaku, misalnya. Tapi, selagi kita nggak punya tersangka, kita nggak tahu mau membandingkan sampel yang didapat dari barang bukti itu dengan apa. Ngerti, kan, Bang?"

Herman menatapku dengan ekspresi yang tak bisa kumengerti. Asap rokok mengaburkan raut wajahnya dari pandanganku.

"Nggak kusangka kamu kuat juga, Venus," ungkap Tommy yang duduk menekur di pinggir parit. Dia muntah saat melihat tulang-tulang di permadani yang kotor oleh genangan darah kering itu. Wajahnya sekarang pucat. Aku sudah menawarinya botol minumku yang berisi teh panas, tetapi dia tidak mau menerimanya. Gengsi?

"Kuat apanya? Ke sini aja tadi digendong," semprot Herman.

Tommy tertawa.

"Padahal dia nangis waktu pertama kali ketemu kucing saya yang terluka parah. Tapi waktu lihat tulang-tulang tadi dia santai aja." Tommy membelaku.

"Itu kan cuma tulang" kataku. "Nggak bisa diselamatin lagi."

Tommy yang semula dipenuhi senyuman kini sekaku patung. Tawa Herman meledak ketika menyadari perubahan ekspresinya.

EternityWhere stories live. Discover now