17 Herman

173 47 18
                                    

Ah, ada hadiah untukku di kantor hari ini. Kotak berisi bangkai tikus disertai surat ancaman. Sejak dilantik menjadi jaksa beberapa waktu lalu, aku jadi seperti berlangganan paket bangkai tikus. Aku bukan tipe aparat yang bisa dibeli tuntutannya, jadi inilah yang harus kuhadapi. Para penjahat membenciku.

Untungnya aku punya abang yang menguasai informasi bawah tanah di kota ini hingga ke tahap ia menjadi gatekeeper-nya. Menemukan pengirim paket-paket misterius seperti ini perkara gampang. Perkara gampang juga untuk memegang rahasia orang-orang yang berlagak hebat itu, jadi mereka tidak bisa main-main denganku.

Ini seperti permainan catur, meskipun aku tidak begitu mengerti strateginya. Semua itu Doni yang urus. Dia mastermind-ku.

Tapi hanya karena dia backup terkuatku, bukan berarti dia akan dermawan atas informasi-informasi terbaru yang didapatnya. Sebaliknya, seperti kukatakan tadi, dia gatekeeper. Dia hanya memberiku informasi jika menurutnya aku pantas memiliki informasi itu.

Sekarang, setelah kasus penemuan kerangka manusia di rumah kosong itu berkali-kali muncul di berita televisi, sudah waktunya membuat Doni bicara lebih banyak. Di antara kami berdua, yang memiliki wewenang lebih dekat untuk mengusut kasus itu aku.

"Apa saja yang kau tahu?" tanya Doni sambil menjalankan bidak pertamanya.

Kami bermain catur di teras kantor pengurus Percasi malam itu. Udaranya pengap dan gerah, jadi kami ingin berada selama mungkin di tempat yang terbuka, berharap angin bakal berembus.

"Mereka berjumlah tujuh. Foto wajah-wajah mereka masih dipajang di rumah itu, kecuali satu orang. Adiknya Oenang, yang kudengar."

Aku memajukan sembarang bidak hitam milikku. Dari dulu catur bukan keahlianku, tapi hanya ini cara agar aku dekat dengan abangku.

Doni manggut-manggut dan memajukan bidak lain, sepertinya dengan serampangan, tapi aku tahu dia sudah memikirkan langkah bidak-bidaknya jauh ke depan.

"Sugeng, yang mati kecelakaan waktu berburu babi," katanya.

"Kecelakaan?"

"Katanya dia lagi memperbaiki senapan yang macet, tapi wajahnya ketembak sendiri. Tembus sampai bagian belakang tengkorak."

"Kau dengar dari mana itu, Bang?"

Doni berdecak. "Aku ketemu orang-orang yang dulu berhubungan sama keluarga Oenang. Paling nggak, keturunannya. Cerita Sugeng ketembak senapannya sendiri itu aku dapat dari anak kepala pelayan mereka dulu."

Cerita yang sungguh menarik.

"Dari mana juntrungannya kau bisa ketemu anak kepala pelayannya, Bang?"

Doni menyalakan rokok. Manset kemejanya tersibak, memamerkan arloji milik ayahku yang jadi miliknya sejak kondisi ayahku kritis. Warisan kecil yang penuh nilai sentimental untuk putra tertua. Aku tidak mendapat warisan apa-apa, selain penampakan hantunya.

"Sebenarnya nggak sengaja. Aku ngumpulin semua desas-desus yang pernah kudengar. Kalau kebetulan nama yang sama muncul di lebih dari satu informasi, aku bakal mengumpulkannya di satu tempat. Dari situlah aku punya informasi tentang keluarga Oenang ini. Tapi belum tentu semuanya benar, ya. Namanya juga dengar-dengar, seperti main pesan berantai. Kata-kata akan rontok di tengah jalan, dan orang terakhir yang menerima pesan itu akan mendapat pesan yang sudah tidak utuh lagi, bahkan mungkin sudah dipelintir maknanya."

"Kalau cerita soal kecelakaan itu? Apa itu benar? Ada surat autopsinya?"

"Sugeng salah satu yang paling duluan mati. Mungkin awal '80. Aku nggak yakin dia pernah diautopsi. Kenapa? Kau curiga mungkin ada orang lain yang menarik pelatuk senapannya?"

EternityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang