11 Adam

156 46 27
                                    

Meskipun tidak menggantikan karyawan Adam, Herman sering menyempatkan mampir ke toko kue itu sepulang kerja. Hari ini bahkan kunjungannya lebih penting daripada hari-hari sebelumnya karena harus melaporkan petualangan—garis miring kencan—Venus tadi malam.

"Cowoknya kaya, sih. Gayus. Ayahnya mantan pengacara. Rumahnya gedong," ungkap Herman setelah disogok dengan sepiring risoles isi ragout ayam dan cacahan telur. Tak lupa beberapa buah cabai rawit sebagai pelengkapnya.

"Gayus," Adam tergelak-gelak. Meskipun lelucon tentang kantor perpajakan itu sudah memfosil, mereka masih menganggapnya lucu sampai sekarang.

"Rumah hantunya beneran serem?" tanya Adam kemudian.

"Serem sih, menurut pendapat gue. Gue kan sebenarnya kucrut."

Sembari mendengarkan cerita temannya, Adam memulas krim putih pada kue bertumpuk lima di meja putar. Itu contoh kue pernikahan yang akan dijajal pemesannya sore ini.

"Kalian masuk?"

"Nggak. Pagarnya terkunci rapat. Kata si cowok ini, semua bukaan rumah itu terkunci rapat. Tapi ada yang aneh. Menurut ceritanya, dia lihat kucingnya jatuh dari jendela rumah itu. Artinya si kucing masuk. Menurut lo, mungkin nggak sih, kucing itu sengaja keluar dari jendela yang nggak ada pengaman apa-apanya di luar? Apa ekspektasi gue terhadap kucing ketinggian?"

"Ketinggian. Kadang ada juga kucing yang sinting, atau sudah nggak kepengin hidup."

Herman melemparnya dengan tisu secara main-main. "Jokes lo gelap banget, Ndan. Anyway, cowok ini berusaha meyakinkan Venus kalau kucingnya jatuh karena adanya aktivitas supranatural di rumah itu, tapi menurut gue, penjelasan paling mungkin cuma ada seseorang di sana. Entah lagi ngapain, nggak tahu. Atau teori Venus: kucingnya tersesat. Tapi karena kami sama-sama dengar ada kursi yang digeser di dalam rumah itu, jadi teoriku yang pasti benar."

Adam melebarkan mata. "Kursi digeser? Serius? Itu kerjaan setan apa manusia?"

"Nah itu dia. Kalau aku sih nggak yakin ada setan bisa geser-geser kursi. Menurutmu gimana?"

"Kalau menurut ayahku sih bisa. Katanya setan itu wujudnya padat kayak kita, bukan kayak kabut tipis yang bisa ditembus seperti roh-roh di cerita orang Barat."

Herman menyeringai. "Kau yakin ayahmu berkata apa adanya dan bukan lagi sarkastis?"

Tawa Adam pecah lagi.

"Kalau ada yang tinggal di sana, apa mungkin itu penghuninya yang dulu? Mau lihat-lihat?"

"Listriknya sudah lama diputus, Ndan. Gelap betul di sana tadi malam. Kalau benar yang tinggal di sana salah satu penghuninya yang tersisa, nggak mungkin dia betah, atau bahkan berani, di sana berlama-lama. Minimal ada setitik cahaya yang nampak dari luar."

"Jadi menurut pendapatmu?"

"Aku takutnya sih ada narapidana lepas. Tapi seharian ini nggak ada kabar begituan di kantor, jadi kalaupun ada narapidana lepas yang menjadikan rumah itu sebagai shelter, dia bukan dari lingkup yurisdiksiku. Bahkan mungkin bisa aja dia datang dari provinsi lain."

"Gimana kalau itu cuma trik si cowok buat narik perhatian Venus?"

Herman terdiam sejenak selagi mengunyah risolesnya. Ia kemudian mengangkat bahu. "Lain kali biarin aja dia pergi berdua sama cowok itu. Venus udah dewasa, tahu zona-zona aturannya. Gue nggak nyaman banget tadi malam. Kesannya gue kayak mau nutup 'pasar'nya Venus. Maksud gue bukannya Venus jual diri, tapi selagi ada cowok lain di sebelah dia, cowok-cowok potensial jadi segan ngedeketinnya. Ngerti, kan?"

Adam diam saja. Ia menenggelamkan diri dalam proyek menghias kue penggantinnya.

"Atau lo emang nggak rela Venus jatuh ke tangan orang lain?" lanjut Herman.

Pertanyaan itu tepat mengenai sasaran. Herman tidak bermain panahan seperti dirinya, tetapi dia punya kemampuan yang sama jitunya di ranah lain. Bukan tidak mungkin sore berikutnya Herman akan mengelupas topengnya hingga ke otot dan tulang.

Namun, memangnya apa yang akan ditemukan Herman?

Adam kelepasan tertawa menyadari betapa menggelikannya persoalan ini.

"Kau ini jaksa pidana atau jaksa hubungan orang, Man?"

Herman mengangkat satu tangannya. "Gue bukannya mau mojokin lo apa gimana. Kita udah sama-sama dewasa dan dianggap tahu mana yang baik dan buruk. Kita nggak bicara tentang moral. Kita bicara dari sisi praktisnya. Lo sudah beristri. Bentar lagi punya anak. Masa lalu sudah berlalu, tapi kalau masih lo pegang kuat-kuat sampai sekarang... bisa ribet urusannya nanti. Gue ada di pihak lo, Ndan. Gue masih kayak dulu, jadi penasihat militer lo. Gue cuma melaporkan pandangan yang nggak kelihatan sama lo, entah karena berada di blind spot atau memang sengaja lo cuekin."

"Iya, gue ngerti, Man," ungkap Adam kalem. "Tapi lo sudah salah memersepsikan apa yang lo lihat. Gue memperhatikan Venus... karena sekarang dia bagian keluarga gue juga. Saban hari Luna mengkhawatirkan dia, dan masalah istri jadi masalah suami. Sama kayak lo yang sedikit-sedikit harus bantu kakak lo. Lo cuma beruntung karena belum punya pasangan. Bisa bayangin seperti apa perasaan istri lo nanti melihat situasi keluarga lo sekarang? Masalah lo jadi masalah dia? Let's be fair, Man. Jangan pakai standar ganda. Oke?"

Adam memang bukan mahasiswa terbaik di fakultasnya dulu. Dia tidak tertarik mengikuti klub-klub yang diikuti Herman untuk meningkatkan kemampuannya. Namun, Herman salah besar jika menjadikannya terdakwa. Ia lebih daripada sekadar mampu untuk membela dirinya sendiri.

"Oke." Herman menggunakan ponselnya sendiri untuk mengetuk etalase tiga kali, seolah-olah mereka sedang bersidang sungguhan.

Di meja hias kue, diam-diam Adam mengembuskan napas lega. Setidaknya hari ini dia aman. Dia harus memikirkan kemungkinan-kemungkinan masalah yang akan menjeratnya di masa depan dan menyusun pembelaan candangan untuk itu.


Dari Pengarang:

Adam the womanizer






EternityWhere stories live. Discover now