25 Adam

168 48 33
                                    

Ia belum mendapat kabar apa-apa dari Luna hingga keesokan harinya. Awalnya ia mengira Luna minggat ke rumah kakaknya di seberang kanal, tetapi ketika ia pantau malam itu, rumah itu gelap gulita. Venus juga tidak ada di sana. Ia menyimpulkan kakak-beradik itu menginap di klinik. Tempat yang tidak ideal untuk bermalam.

Ia bukan hanya mengkhawatirkan Luna, tetapi juga bakal anaknya.

Ia tidak suka setiap kali Luna memilih diam daripada menjelaskan keadaan. Apa salahnya memberi pesan bahwa dia butuh waktu untuk menenangkan diri sebelum memikirkan solusinya. Diam bukan solusi.

Ia melakukan beberapa kesalahan sepanjang hari di toko kuenya. Ia kehabisan korsvet, salah membeli pengemulsi, juga keliru melabeli dessert box-nya. Karyawannya jadi mengemban tugas lebih banyak daripada biasanya, sedangkan Herman sibuk di kantor. Adam kewalahan, meskipun pekerjaannya tidak berat.

Pada jam pulang kerja sore, Venus kembali mampir ke tokonya, dengan scrubs bergambar aneh seperti biasa. Dia datang sendirian.

"Sore, Dam," sapanya riang. Venus bukan pendendam. Bisa jadi dia bahkan sudah lupa pernah marah pada Adam baru-baru ini.

"Mana Luna?"

Venus meletakkan tasnya di atas etalase. "Slow down. Tanyain kabar aku dulu, kek."

"Luna nggak jawab chat dan angkat telepon dariku sama sekali," katanya gusar. "Gimana cara memperbaiki masalah kalau menolak berkomunikasi sama sekali?"

Venus membuat gestur agar Adam menurunkan nada bicara. "Easy, easy, you drama queen. Kamu seharusnya sudah memetik pesan moral dari kata-katamu sendiri. Jangan diam aja. Ngomong dulu ada masalah apa."

"It's not your business."

"IT'S my business if it's involving my sister," desak Venus.

Adam bersiap melontarkan pembelaan diri, tetapi tertahan oleh sebuah kesadaran. Ia tidak mungkin mengumbar boroknya sendiri pada Venus. Entah kenapa, ia selalu ingin terlihat tak bercela di depan perempuan ini. "Luna cerita apa aja ke kamu?"

"Itu bagian menariknya." Venus tersenyum dan menyamankan posisi duduk di stool. "Luna nyuruh kamu duluan menjelaskan seperti apa kejadian waktu itu dari sudut pandangmu."

"Gosh." Adam menangkupkan tangan di dahinya. "Maksudnya cerita ke kamu?"

Venus mengangguk dengan ekspresi polos. "Luna pengin dengar cerita versi kamu... dariku."

"Can't."

"Why?" Mata Venus membelalak di balik kacamata bingkai emasnya.

Karena sebenarnya ini tentang kamu, bukan tentang Luna.

"Luna mungkin lupa kalau setelah menikah, masalah dengan pasangan nggak bisa dibuka begitu saja ke orang lain."

"Kecuali kekerasan," cetus Venus datar.

Adam membeku.

"Aku nggak mau adikku mendapat kekerasan lagi dari siapa pun, Dam. Sudah cukup kejadian yang menimpanya dulu. Aku nggak akan memaafkan orang yang menyakiti Luna, meskipun itu kamu. Terutama kamu. Dengar itu?"

Adam menelan ludah.

"Aku nggak akan tega menyakiti dia," ucapnya lirih.

"Kalau yang kamu maksud menyakiti secara fisik, aku percaya. Tapi gimana sama menyakiti secara mental? Kamu sadar nggak, mungkin kamu bikin dia takut, atau kecewa, atau tertekan? Kamu tahu trigger sekecil apa pun bisa bikin dia balik ke kebiasaannya yang dulu?"

Venus mengatakannya dengan lembut dan penuh kasih sayang, tapi Adam merasakan teror yang terselip di antara kata-katanya.

"Dia menyakiti dirinya lagi?"

"Nggak, sejauh yang kulihat." Venus menopang kepalanya dengan satu tangan. "Aku diam-diam periksa dia waktu tidur. Nggak ada luka sejauh ini. Terus apa, Dam? Dia nggak mungkin mendiamkan kamu kalau kamu nggak berbuat kesalahan, kan?"

Tulang-tulangnya seakan meleleh. Diinterogasi oleh wanita yang seharusnya menghamba padanya seperti ini sangat menyiksa. Ia menekur sejenak, mengumpulkan kekuatan lagi. "Apa pun yang kukatakan ini bakal kamu forward ke Luna?"

"Uh-hm."

Adam menimbang-nimbang sebelum membuka diri. Sedikit saja.

"Aku berharap dia lebih menerimaku," ungkapnya pelan.

"Menerima... maksudnya?"

"Selama ini kayaknya selalu aku yang mengejar... selalu aku yang berusaha... dan yang kuterima itu bentuk penolakan... respons yang dingin."

"Kamu seharusnya nggak berekspektasi terlalu jauh ketika memilih dia, kan?"

Adam tahu itu sindiran. Dulu dia punya pilihan. Dulu dia pikir dia bisa konsisten dengan apa yang dia pilih. Sekarang dia memandangi Venus dan menyadari kekeliruannya.

"Kamu yakin cuma itu masalahnya?" tanya Venus lagi.

"Itu akumulasinya."

Venus menaikkan alis. Gestur tubuhnya kelihatan mencemooh Adam. "Daya tahanmu ternyata rendah, Dam. Untung bukan aku yang kamu pilih. Oh, ralat. Maksudku, seharusnya aku nggak gegabah menyerahkan adikku begitu aja. Dia lebih rapuh daripada kaca. High-maintenance. Kupikir kamu yang sudah jagain dia dari remaja bakal lebih siap. Lies, lies, lies."

Jemari Venus melambai-lambai di udara.

"Denganmu belum tentu lebih baik," cetus Adam.

"Aku tahu itu, kok. Tapi kalau kamu memang nggak puas sama Luna, tinggalin dia sekarang juga. Cari perempuan lain yang bisa mengenyangkan egomu itu, Tuan."

"Dia lagi mengandung anakku—"

"So what?" suara Venus meledak. "Hanya karena kamu ayah biologisnya, bukan berarti kamu bakal jadi ayah yang baik. Ayahku abuser. Ibuku apalagi. Jangan mulai bicara tentang ayahmu, maaf saja. Mungkin dia sudah tobat sekarang, tapi waktu kamu kecil, dia monster buatmu. Kita ada untuk satu sama lain supaya merasa aman, karena kita nggak tumbuh dengan rasa aman di rumah kita sendiri. Kita berada di level terbawah kebutuhan hidup setelah sandang, pangan, papan. Kita masih terlalu rapuh untuk mencintai dan dicintai, Dam. Kamu mau minta apa lagi?"

Selagi bicara membara-bara, mata Venus berkaca-kaca dan wajahnya meradang. Venus identik dengan warna merah, tetapi Adam tidak suka melihatnya memerah seperti ini.

Ia tahu ia tidak bisa menang dari perempuan ini.

"Oke, aku salah. Aku menuntut terlalu banyak."

"Kamu nggak pernah kasih tahu Luna apa yang kamu inginkan darinya?"

"Aku takut itu jadi beban buatnya."

Venus mendesah panjang. "I know you love her, Dam. You love her so much so that everything else doesn't matter. Teorinya begitu. Praktiknya? Cinta itu butuh diusahakan. Cinta bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Cinta itu soal ketahanan terhadap rasa sakit, atau minimal mengada-adakan yang sebenarnya nggak ada."

"Itu yang lagi kamu lakuin ke Tommy-Tommy itu?" Adam balik menyindirnya. "Mengusahakan cinta meskipun sebenarnya nggak ada yang kamu rasakan."

Gadis itu mengangkat bahu. "Pepatah bilang fake it 'till you make it, kan? Wish me luck."


Dari Pengarang:

So, lebih suka Venus-Adam atau Venus-Herman? Mamang pribadi suka dinamika (alias kontroversi) hubungan Venus dan Adam ini.






EternityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang