7 Adam

171 49 18
                                    

Dessert box-nya laris manis hari ini. Setelah kejadian lucu dua pelanggan berebut dessert box terakhir yang berharga itu, Adam meminta karyawannya membuat beberapa kotak lagi. Setelah itu, ia mengamati seisi tokonya dari meja kasir. Roti manisnya masih banyak.

Ia mengambil kamera dan memotret beberapa contoh roti manis dengan penampilan paling menarik, mengedit foto itu di laptop, lalu mengunggah story di Instagram dan WhatsApp. Ia juga keluar sebentar dari tokonya untuk memasang promosi hari ini di chalkboard kecil.

Salah satu yang ia senangi dari membuka toko kue adalah kebebasan mengumpulkan pernak-pernik manis untuk dipajang di sana. Sejak dulu ia menyukai gagasan kafe yang menampilkan daftar menu di chalkboard yang berdiri di luar toko. Ia berpikir itu manis, meskipun Luna menganggapnya norak dan pasaran. Nuansa toko kuenya sendiri lebih cenderung ke gaya industrial, tetapi Adam menambahkan jam dinding berangka Romawi, cermin berbingkai ukiran rumit, dan tumpukan bunga plastik berwarna pastel. Adam beralasan dia butuh properti untuk foto-foto promosi kuenya. Luna mengejeknya terlalu girly.

Tapi kamu suka, kan? balas Adam setiap kali.

Aku suka caramu memperlakukan aku.

Adam masih saja terpikat oleh sisi misterius Luna. Tak seperti saudarinya yang tidak tahu malu dan terbuka soal perasaannya kepada siapa saja, bahkan orang asing, Luna selamanya menjadi buku yang tertutup bagi Adam. Dia tidak pernah menjawab pertanyaannya dengan satu jawaban pasti. Dia tidak pernah memuaskan rasa penasarannya. Dia tidak pernah membiarkan siapa pun mengenal dirinya selangkah lebih dekat daripada orang lain.

Herman mampir sore itu. Ia mengenakan seragam cokelat tuanya dan terlihat muram.

“Ada sidang, Man?” sapa Adam dari balik etalase utama.

“Yah, gitu deh.” Herman mengambil sebuah stool lalu mendudukinya.

“Lesu amat. Mau ngopi?”

Herman mengerang. “Nggak usah sok sibuk kau. Aku sebentar aja di sini.”

“Kalau bantu bikin kue nggak, bantu ngelarisin jualan juga nggak, mending pergi aja kau,” balas Adam sambil tertawa-tawa. “Jangan nambah sesak aja kau bisanya. Tokoku sudah sempit.”

Herman menyahut dengan kekehan. “Memang brengsek kau ini. Nyindir terus.”

“Nih, bantu ngabisin. Besok udah berjamur.” Adam menyodorkan beberapa potong roti manis beraneka bentuk di sebuah nampan logam.

Herman mengambil satu dan membelahnya menjadi dua. Roti pisang cokelat. Ia tidak terlalu menyukai panganan manis, tetapi sesuatu yang mengandung pisang masih bisa ditoleransi.

“Njir, besok berjamur apaan, ini masih anget gini,” keluh Herman sambil mengunyah.

Adam tertawa lagi, tetapi kali ini bukan tawa jail. Ia tertawa senang mendengar pujian yang terselubung umpatan dari temannya.

“Tapi serius, Ndan, kepalaku mau pecah tiap pulang ke rumah. Lebih padat pula rumahku daripada Hong Kong. Mending kalau nggak nganggur-nganggur aja. Ini? Kau tahu sendiri sebagian besar dari mereka berada di rentang usia produktif, tapi bukannya produktif menghasilkan duit, mereka cuma produktif menghasilkan anak!”

Meskipun keluhan Herman kali ini dikemas dalam bentuk lelucon, Adam tidak tertawa. Ia bisa merasakan kemarahan murni mengalir pada setiap kata yang diucapkan pemuda itu.

“Aku nggak keberatan nambah karyawan satu lagi, Man.”

“Ogah masukin saudaraku ke sini. Bikin malu aja nanti. Gayanya kayak raja semua, kayak nggak butuh duit. Nggak mau susah. Nggak mau kerja keras. Sedikit-sedikit ngeluh. Kau percaya? Si Badrun bahkan dengan pedenya beli rokok pakai duit kakakku, yang sebenarnya duit aku. Padahal aku kasih duit itu ke dia buat beli susu formula anaknya.”

EternityNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ