30 Luna

142 57 7
                                    

Dia tidak punya tempat pulang lagi. Jalan di belakangnya sudah lenyap. Jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa kini sudah diruntuhkan. Dia tidak bisa pulang ke rumah Venus karena keberadaannyalah pemicu masalah dengan Adam. Dia tidak bisa pergi ke rumah ayahnya yang sudah punya keluarga baru. Dia tidak bisa pergi ke rumah ibunya yang pernah hampir membunuhnya.

Satu-satunya yang mereka sebut rumah untuknya hanya tempat Adam dan Umi berada. Tempat benda-benda antik dan mistik ayah mertuanya berjejalan di ruang tamu. Tempat yang akan terkunci rapat di kala malam dan tak akan ada orang di luar rumah yang mendengar permintaan tolongnya jika terjadi sesuatu.

Rumah itu klaustrofobik, seperti kamar mungilnya semasa remaja; tempat sang ibu pernah mengurungnya; tempat seekor ular raksasa berada karena tertarik dengan aroma kucingnya.

Setelah Venus pergi dengan Herman malam itu, ia beranjak pergi juga. Ia benci tempat-tempat di mana kakaknya menandai kekuasaan. Adam mengiriminya setumpuk pesan dan segunung panggilan tidak terjawab. Luna tidak meresponsnya. Pikirannya begitu penuh, terbuat dari logam padat yang memberati kepalanya. Adam tentu hanya berusaha berbuat yang terbaik, tapi semua itu tidak ada artinya. Adam menginginkan apa yang tidak bisa ia dapatkan dari Venus. Venus tidak menginginkan komitmen. Venus juga tidak menghendaki anak. Venus terbang bebas, gagasannya berupa kepakan sayap rapuh kupu-kupu yang sepintas muncul, sepintas lenyap. Venus tidak bisa digenggam di tangan, tapi bisa mendekat ketika diberi bunga yang tepat.

Luna berpakaian rapi dan mendaftar antrean di sebuah klinik psikiater lewat aplikasi.

Dr. Evi.

Itu nama psikiater yang sudah dikunjunginya sejak kuliah. Setelah percobaan pembunuhan sang ibu, dia sudah bolak-balik ke berbagai konselor di kota ini. Namun, kebanyakan mereka tidak mengerti dirinya. Dia diminta menyebutkan keluhan psikologisnya sesuai daftar nama penyakit yang tersedia, diantar ke ruangan, lalu diberi resep obat atau nasihat singkat tentang keluhannya. Dia bahkan tidak yakin sudah benar memilih keluhannya di antara daftar itu. Dia datang pada profesional dengan harapan merekalah yang memberi nama pada keluhannya. Dia datang karena sama sekali tidak tahu apa yang salah pada dirinya.

Dr. Evi berbeda. Dia mengizinkan Luna bercerita tentang hal-hal acak dan membantunya menyusun kepingan-kepingan acak itu menjadi satu kesatuan yang utuh, seperti jigsaw puzzle. Dia dengan jujur meminta waktu untuk memahami Luna lebih dalam, tidak tergesa-gesa menetapkan diagnosisnya. Dia tidak mengutamakan obat-obatan, meskipun di masa lalu Luna pernah bergantung penuh padanya.

Saat berada kembali di ruangan psikiater itu, Luna merasakan nostalgia. Dulu dia pertama kali datang ke sini dengan luka sayatan silet memenuhi lengan kirinya. Dahinya lebam hasil membentur-benturkan kepalanya sendiri ke dinding.

Luna sedang dalam kondisi mental ingin melakukan hal serupa, tapi dia sadar dia masih punya orang yang akan memperhatikannya meskipun hanya di ruangan ini, dalam waktu yang terbatas.

Dr. Evi sudah bertambah tua dari terakhir kali mereka bertemu. Mungkin sebentar lagi pensiun. Dia tersenyum hangat menyambut Luna. Dia bahkan masih mengingatnya di antara ribuan pasien yang datang setiap hari.

"Luna! Apa kabar? Kamu semakin glowing saja."

Luna memberitahunya bahwa sekarang dia sudah menikah dan tengah mengandung, dan sang dokter memberinya selamat yang terdengar tulus.

"So," dr. Evi berkata kemudian, jemarinya mengetuk-ngetuk meja seakan mendengarkan lagu yang dia sukai. "Ada masalah apa, Luna? Kamu nggak mungkin ke sini kalau cuma mau nanyain kabar saya, kan?"

"Saya ingin memakan diri saya sendiri."

Dr. Evi menjalin kesepuluh jemarinya di meja, lalu menumpukan dagu di atasnya. Jika wanita ini punya selera humor untuk merespons ucapan absurd Luna, tentu dia tidak menunjukkannya.

"Lanjutkan, Sayang."


Dari Pengarang:

Mulai ngadi-ngadi kalau POV Luna







EternityWhere stories live. Discover now