8 Venus

185 51 27
                                    

Aku tidak butuh pendamping. Aku bukan anak kecil lagi. Lagi pula, Tommy sudah berjanji akan menemaniku melihat-lihat rumah hantu itu, karena letaknya persis di sebelah rumahnya.

Namun, karena aku telanjur membocorkan rencana kegiatanku malam ini (bodohnya aku!), orang paling menyebalkan sedunia pun ikut denganku.

Herman entahsiapa.

Padahal dulu aku pernah berdoa semoga dia putus sekolah dan jadi gelandangan di jalan, tapi sekarang dia satu-satunya yang menjadi pegawai negeri di antara anggota geng kami (aku, Luna, Adam, Giga, dan dia).

Dia tidak lagi sekecil badannya dulu. Kulitnya juga tidak segelap waktu remaja karena sekarang lebih banyak bekerja di dalam ruangan. Dia punya potongan rambut keren, yang menurutku melambungkan daya tariknya tapi aku tetap tidak tertarik karena dia sering berbuat jahat padaku sewaktu kecil. Hal terjahat yang pernah dilakukannya adalah menculik mendiang Oreo. Oreo memang sehat-sehat saja ketika kembali, bahkan berat badannya naik drastis, tapi aku yakin makanan yang diberikannya sama sekali tidak sehat! Oreo jadi punya deposit lemak mengerikan di perutnya.

Apa lagi, ya, keburukan Herman? Melihat pekerjaannya saja aku sudah bisa membayangkan betapa busuknya dia. Pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian itu sarangnya orang korup. Iya, kan?

Herman muncul di rumahku jam tujuh malam kurang lima. Aku sedang membongkar lemari pakaian ketika dia mengetuk pintu. Aku belum menemukan pakaian yang cocok untuk bertemu Tommy malam ini. Aku baru menyadari setiap pakaianku, dari dress hingga jumper, semuanya memiliki unsur norak yang tidak termaafkan. Aku tidak mau membuat Tommy ilfil dengan gaya berbusanaku. Sudah cukup Herman mengomentari betapa anehnya seragam kerjaku. Corak-corak kadal itu sebenarnya disengaja untuk menarik perhatian kucing agar lebih mudah ditangani.

Pada akhirnya, aku menemukan satu blus bergaya Korea yang mendingan, dengan warna hijau zaitun, kancing-kancing besar, dan aksen serutan di pinggang. Kupikir itu tidak terlalu berlebihan untuk dipakai menjelajah rumah hantu, kan? Celana jins pensil pelengkap yang tepat. Baiklah, aku puas dengan penampilanku.

Aku pun keluar dari kamar dan membukakan pintu.

Oh, Herman. Apa-apaan?

Dia mengenakan kaus oblong hitam dan jaket kulit cokelat. Mulanya wajahnya bersungut-sungut, tetapi setelah melihatku, ia terpingkal-pingkal.

“Ada yang lucu, ya?” sergahku.

“Kau yakin mau pergi kayak gitu?” Dia menunjuk wajahku. Aku buru-buru melirik cermin bulat kecil yang menjadi hiasan ruang tamu. Oh, sial, baru satu alisku yang dibentuk.

“Aku belum selesai dandan!”

“Belum selesai dandan?” semburnya. “Aku sudah nunggu satu jam di sini, kirain akhirnya kau siap berangkat!”

“Duduk dulu, ah!” suruhku lalu memelipir ke kamar lagi.

“Hantunya keburu tidur kalau kamu kelamaan!” Herman belum puas mengomeliku.

“Aku bukannya mau cari hantu ya, Bang!”

“Tapi kamu pengin tahu rasanya hidup abadi di rumah tempat tinggalmu. Artinya kamu mau mewawancarai hantu, kan?”

Kami saling berteriak satu sama lain karena terpisah begitu banyak dinding dan ruang, dan sebenarnya aku bersyukur karena Herman jadi tidak perlu melihat wajah terkejutku. Aku heran kenapa dia belum melupakan kata-kata isengku waktu makan bakso. Apakah semua lulusan hukum punya daya ingat mengerikan untuk menjatuhkan argumen lawannya?

Buktinya Adam tidak.

Yah, Adam kelihatannya salah masuk jurusan. Dia masuk jurusan yang terlihat lebih maskulin daripada tata boga agar tidak dibantai ayahnya.

EternityWhere stories live. Discover now