13 Adam

151 42 7
                                    

Saat terbangun, ia mendapati bagian ranjang di sisinya kosong. Cahaya biru redup mengintip dari jendela yang tirainya tersibak sedikit. Suara Luna terbatuk-batuk dan menjeluak di kamar mandi sudah menjadi rutinitas paginya akhir-akhir ini. Dengan enggan, ia bangkit dan mengeluyur ke kamar mandi.

"You okay, Dik?"

Luna hanya menjawab dengan jemari yang membentuk A-oke.

Selagi Luna memakai kamar mandi, ia ke dapur, memeriksa apa yang bisa dimasak untuk sarapan. Sang ibu mengurus cucian di belakang. Adam menawarkan bantuan, tetapi ibunya hanya memintanya mengawasi singkong yang sedang dikukus.

Adam kaget karena melihat sang ibu memasak sepanci besar ubi kayu.

"Banyak banget, Mi. Buah arisan?" seru Adam dengan maksud menggoda.

"Kemarin Luna makan ubinya banyak," sahut sang ibu dari ruangan lain.

Adam menoleh dengan ekspresi bertanya-tanya.

"Makan singkong... doang?"

"Habis... dikasih ini-itu muntah terus." Sang ibunya beranjak ke dapur sambil menyeka tangannya yang basah ke dasternya. "Baru nggak muntah waktu makan singkong. Mungkin dia suka karena rasanya tawar, cuma Umi kasih garam sedikit. Ya udah, sekarang yang penting perutnya terisi. Kasihan kalau sampai lemas karena muntah terus."

Tapi nggak ada gizinya, Mi.

Adam memutar otak untuk menyelipkan tambahan nutrisi ke makanan kesukaan baru istrinya. "Ubi dicampur susu sama keju enak, nggak, ya?" gumamnya kemudian.

"Coba aja. Yang penting usaha dulu. Kalaupun nggak habis, kamu yang tanggung jawab ngabisin." Sang ibu cekikikan sambil menepuk pelan lengannya, lalu kembali ke belakang.

Kalau dipikir-pikir, Adam merasakan perubahan pada tubuhnya sejak Luna muntah-muntah. Ia mencoba mencubit-cubit perutnya sendiri, dan benar saja.

Kayaknya aku ikutan hamil....

Terakhir kali mereka dinner di luar, Adam juga menghabiskan makanan Luna karena tidak ingin buang-buang makanan. Ditambah lagi waktu olahraganya menipis karena ia jadi lebih sering berada di rumah untuk menjaga istrinya.

Ia bertanya-tanya apakah ia boleh menghabiskan waktu pagi ini untuk berolahraga dengan intensitas seperti dulu lagi. Namun, ketika melihat Luna yang terhuyung lemas sekeluarnya dari kamar mandi, ia mengurungkan niat.

Ia membantu Luna mencapai sofa lalu membaringkannya di sana.

"Pusing, nggak?" tanya Adam. Luna menggeleng. "Aku ambilin air hangat, ya?"

Kali ini Luna menyetujuinya. "Makasih, Dam."

Adam kembali ke dapur untuk mengambilkan air minum, lalu kembali ke tempat Luna berbaring untuk membantunya minum.

"Aku nggak kepengin bikin hidupmu tambah susah begini," ucap Luna pelan. Adam buru-buru berdesis menyuruhnya diam.

"Yang sabar, ya. Semua ini pasti berbuah manis nanti."

Ia menangkupkan tangannya di pipi Luna. Jemari Luna bergabung dengan tangannya, dan senyumnya merekah malu-malu, masih sama seperti senyumnya di masa remaja. Dahi mereka menyatu selama beberapa saat, hingga terdengar ketukan di pintu depan.

Adam bangkit untuk membukakan pintu. Kebahagiaan di wajahnya seketika berubah menjadi kejengkelan tatkala melihat siapa tamunya pagi ini.

Tetangganya, Herman.

Hari ini ia hanya mengenakan celana tanggung dan kaus belel. Tipikal Herman di akhir pekan. Namun, yang mencurigakan adalah binokular yang menggantung di lehernya.

"Habis ngapain lo?" tukas Adam.

"Ipar lo mau ke mana tuh?" Herman balik bertanya.

"Ipar?"

"Ipar lo cuma satu, kan? Dua, kalau si gorila YouTuber juga termasuk."

Adam keluar, menyeberangi pekarangannya yang dipenuhi ilalang, lalu berdiri di tepi kanal yang dulunya anak sungai. Dari sana, sebagian rumah Venus terlihat, menyembul dari balik vegetasi rimbun yang tumbuh menutupi rawa.

"Mana Venus?" tanya Adam.

Herman menyodorkan binokular itu padanya. Lewat teropong, Adam mendapati Venus yang berpakaian rapi sedang membawa sesuatu ke Rumah Atas. Di Rumah Atas, dua mobil parkir di halaman. Giga dan anak buahnya menjejalkan peralatan syuting ke salah satu mobil.

Tanpa tedeng aling-aling, Adam menghubungi Venus dari tempatnya berdiri. Venus mengangkat panggilannya pada dering kedua.

"Ya, Dam?" Terdengar suaranya yang renyah dan lincah.

"Mau ke mana?"

"Ke rumah hantu itu lagi. Giga tertarik mau ngeliput."

"Bareng Tommy lagi?"

Sejenak, tak ada jawaban dari Venus.

Adam baru menyadari ia belum mendengar cerita soal Tommy dari mulut Venus sendiri. Ia hanya mendengar dari Herman dan Luna. Terutama Luna, yang uring-uringan sejak Venus mendeklarasikan diri untuk tidak pernah menjalin hubungan serius dengan lawan jenis.

"Luna yang cerita," kilah Adam. "Katanya kamu lagi ada proyek kencan horor sama orang bernama Tommy."

"Nggak, kok," sangkal Venus. "Hari ini mereka mau geledah rumah kosong itu karena ada aktivitas mencurigakan di sana."

Di seberang kanal, Venus melongok ke arah dirinya berada. Mereka bicara bertatap muka dalam jarak jauh.

Adam tidak suka Venus menyembunyikan Tommy darinya, tetapi ia juga tidak tahu bagaimana cara memulai pembicaraan yang wajar dengan gadis itu.

"Penting banget ya, rumah hantu ini?"

"Astaga, Dam. Masa aku nggak boleh senang-senang, sih?"

"Ya udah, selamat bersenang-senang." Adam berusaha menekan kemarahannya ketika mengucapkan itu. Ia menutup telepon sebelum mendengar jawaban Venus. Ia mengembalikan binokular Herman, dan Herman memberinya tatapan penuh arti.

"Apa gue perlu nyamar jadi sepupu overprotektif lagi?" ucapnya sambil menyeringai.

Adam menyentakkan dagu ke arah rumah Venus. "Pergi, sono."

Setelah berpisah dengan Herman, ia kembali ke rumah. Ia mau membuat sarapan. Ia tidak ingin memikirkan Venus lagi. Pikirannya harus kembali ke rumah ini, ke tempat istrinya berada.

Ia mengangkat singkong dari panci, mengupas beberapa potong, melumatnya, kemudian mencampurnya dengan susu cair dan keju. Ia kemudian mencetaknya dengan cetakan kue agar terlihat menarik, lalu menyajikannya di sebuah pinggan kaca.

Saat Luna menyantapnya, dia bertanya, "Apa, nih? Gethuk?"

Adam baru menyadarinya, dan gagasan itu begitu menggelikan hingga ia terpingkal-pingkal.

"Iya, gethuk. Enak, nggak?"

Alis Luna mengerut selagi dia mengecap-ngecap rasa makanan itu. "Rasanya aneh, Dam."

"Aneh gimana?"

Adam mencicip sepotong. Ia tidak merasakan apa-apa selain rasa tawar dan gurih dari keju dan singkong itu sendiri.

Tak butuh waktu lama sebelum Luna menjeluak dan kembali berlari ke kamar mandi.

Adam menepuk dahinya. Sekarang ia menyadari barangkali ibunya benar soal makanan yang bisa dimakan Luna. Ia menghabiskan "gethuk" itu sendirian dan memberi istrinya versi singkong rebus yang paling polos.


Dari Pengarang:

Herman si biang rusuh





EternityWhere stories live. Discover now