26 Luna

134 51 15
                                    

Baru ditinggal cuti beberapa hari, klinik itu sudah jadi kapal pecah saat dia kembali. Sekarang Luna harus menyisihkan waktu untuk merapikan banyak hal, termasuk dokumen hasil pemindaian sinar-X. Meskipun biasanya Venus telaten mengarsipkan ini, tapi karena dia kerepotan saat harus mengurus administrasi dan klinik sekaligus, dokumentasi jadi keteteran.

Selagi Venus pergi mencari camilan sore (mengonfrontasi Adam), Luna mengurutkan hasil-hasil pemindaian sinar-X berdasarkan waktu, melabelinya dengan nomor seri pasien (tidak semua pasien mereka diberi nama oleh pemiliknya), dan mengelompokkannya jadi satu di sebuah folder. Dia harus mencocokkan nama hasil pemindaian dengan data pasien, dan proses ini akan memakan waktu lama.

Namun, dia berhenti di data rontgen Kennedy, kucing milik Tommy. Dia baru menyadari ada yang luput dari matanya saat membaca hasil pemindaian itu tempo hari.

Tak hanya mengalami patah tulang kaki depan dan beberapa rusuk, Kennedy juga mengalami kerusakan yang parah pada kuku-kuku kakinya. Ia bukan hanya terjatuh, melainkan juga berjuang keras untuk kembali ke daratan berpijaknya. Ia dijatuhkan paksa, bukannya secara lalai meloncat dari ketinggian tiga lantai. Dan karena kerusakan kuku di kaki depan jauh lebih parah daripada kaki belakang, Luna membayangkan perjuangan mati-matian Kennedy agar tidak terjatuh.

Rahang Luna mengetat. Tanpa sadar dia mencengkeram mouse komputer terlalu keras.

Terdengar keriat pintu dibuka. Venus sudah pulang. Dia sendirian.

"Bandiiit." Suara falset Venus yang merdu memenuhi lorong klinik. Luna meninggalkan berkas yang sedang dia kerjakan dan beranjak keluar.

Venus meletakkan bungkusan kudapan sore mereka di meja depan lalu menjatuhkan diri ke sofa ruang tunggu.

"Gimana?" tanya Luna.

Kakaknya hanya menyentakkan dagu pada kantong kertas berisi jajanannya di meja.

Luna meraih kantong kertas itu dan memeriksa isinya, tetapi sebelum dia melihat wujud camilan yang dibeli kakaknya, aroma yang dibawa uap panas makanan itu sudah sampai di hidung Luna, dan membuatnya mual. Dia serta-merta menyingkirkan kantong kertas itu ke ujung meja.

"Nggak suka?" tanya Venus.

Luna menggeleng.

Venus mendesah dramatis. "Gini amat ngasih makan bumil."

Kata terakhir yang diucapkan Venus mengingatkannya kembali pada masalah Adam.

"Udah jadi ke toko Adam?"

"Belum," jawab Venus dengan nada linglung. "Gimana kalau ternyata cerita versi dia malah bikin hubungan kita bertiga semakin runyam?"

Luna duduk di belakang meja, menatap langit kota yang berangsur gelap di luar jendela. "Kenapa kamu mikir gitu?"

Venus mendesah panjang dan memerosot dari sofa. "Kamu nyuruh aku nanyain Adam supaya aku lebih jujur lagi padamu dari yang kukatakan waktu itu, kan? Aku nggak punya penjelasan apa-apa lagi, Dit. I messed up, udah. Kukira permainan kami sudah berakhir, ternyata belum. Setidaknya Adam masih terus main, walaupun aku sudah quit. Sekarang aku benar-benar kepengin move on. Ada cowok lain yang gemesin dan masih free di luar sana."

Luna menyilangkan tangannya di dada. "Kamu memang suka Tommy atau dia cuma kamu ambil secara acak untuk alat move on?"

Tawa Venus meledak. "First things first, aku nggak pernah jadiin orang sebagai alat, ya. Dan yang kedua... siapa sih yang nggak kecantol sama orang kayak Tommy? Gila aja."

"Orang kayak Tommy?"

Kini Venus meliriknya geram. "Cute, gentle, cat lover... oke, bapiti juga."

Ungkapan bapiti yang berarti "berduit" itu membuat perut Luna geli, tetapi hanya sesaat.

"Aku nggak yakin sama cat lover-nya, Jul."

"Kenapa?"

Luna bangkit menuju ruang rontgen. "Aku mau diskusi sesuatu tentang cedera Kennedy."

"Did I miss something?" Venus mengikuti tepat di belakangnya.

"Bukan melewatkan sesuatu, lebih tepatnya salah mengartikan sesuatu. Kamu bilang Tommy lihat kucingnya terjun begitu aja dari lantai tiga?"

Venus tampak mengingat-ingat. "Uh-hm."

"Aku yakin sebelum terjun, dia berjuang mati-matian dulu untuk bertahan di jendela itu. Kamu sudah pernah lihat sendiri jendela yang dimaksud, kan? Gimana bentuknya?" Luna duduk di depan komputer dan membuka lagi folder berisi data hasil pemindaian.

Sejenak, tidak ada jawaban dari Venus yang berdiri di belakangnya.

Luna membuka file gambar pemindaian Kennedy dan memperbesar gambarnya di bagian kaki depan. Kuku-kuku yang putus dan rusak itu. Pemandangan yang memicu tangisan Venus pada kali pertama melihatnya.

"I don't like this," rengek Venus sambil memegangi kepalanya.

"Kenapa?" Luna melirik kakaknya.

"Kayaknya ada yang bohong sama aku."

Luna ingin berkata apa kubilang, tapi menahan diri dan membiarkan kakaknya sendiri yang menyimpulkan hasil diskusi mereka.

Venus terduduk di lantai, kedua kakinya diluruskan. "Oh, Dit... kenapa ini terjadi terus sama aku. Aku cuma mau cari pacar, tapi pacarku itu kalau nggak norak, ya psikopat. Apa Adam pernah menjampi-jampi aku supaya nggak pernah bisa lepas dari jeratannya?"

Luna duduk di sampingnya di lantai polos itu. "Menurutmu apa yang sebenarnya terjadi? Pada Kennedy, bukan pada kehidupan cintamu yang menyedihkan itu."

Sejenak, Venus melontarkan tatapan tajam padanya.

"Nggak mungkin Tommy sendiri yang ngejatuhin kucingnya, kan? Buat apa?"

"Kenapa nggak tanya dia sendiri?"

"Kamu gila ya, Dit?" suara Venus meninggi, tetapi nadanya tetap manja. "Why you do this to me? Kemarin suruh nanya Adam, sekarang nanya Tommy."

"Karena kamu banyak nanya!" tukas Luna. "Ya cari jawabannya sana. Aku, sih, nggak perlu jawaban apa-apa lagi." Aku tahu memang nggak ada orang baik di dunia ini.

"Kalau ternyata dia memang nyiksa kucingnya sendiri, terus dia mau bungkam aku karena sudah tahu banyak, gimana? Aku belum mau mati, Dit. Mati itu sakit."


Dari Pengarang:

Luna has a point.








EternityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang