6 Herman

220 50 24
                                    

Mari bicara tentang rumah nomor 1 di Jalan Anggrek.

"Besar rumahnya. Ada menaranya seperti kastel begitu. Tingginya mungkin tiga atau empat lantai. Menaranya itu," kata Doni, abangku, pada jam makan siang. Menu yang kami santap biasa saja. Nasi, ayam, gulai nangka, lalapan daun ubi, sambal. Aku sempat melirik orang yang makan di meja sebelahku. Dia memesan gulai kepala kakap. Ck ck ck.

"Si Lius itu residivis," tiba-tiba Doni membelokkan pembicaraan. "Aku nggak yakin salahnya cuma gebukin orang. Kalau kau bisa bantai dia pakai pasal berlapis, kutraktir kau kepala kakap."

Rumah makan padang langganan kami penuh sesak. Udara panas dan dengung percakapan berpusar-pusar di dalam sini. Meskipun sore sebelumnya hujan turun deras dan lama, jejaknya sudah tidak bersisa hari ini. Keringatku membanjir karena aku mengenakan seragam kantor yang panas.

Aku berdecak. "Kalau sama orang kecil, aku nggak akan mengorek apa yang nggak terungkap di penyidikan. Kalaupun nanti dia lepas, terus balik lagi... ya sudah, tuntut dengan apa kesalahannya sewaktu ditangkap aja. Omong-omong, siapa pemilik rumah nomor 1 itu?"

Doni tampak tidak suka karena kembali ke pembahasan ini.

"Namanya Oenang. Pada zaman keemasannya, dia punya semua ruko di pasar."

"Tahun berapa, tuh?" Aku berjuang memerangi rasa terbakar di mulutku. Kurang ajar juga campuran cabai dan lada ini. Aku benci dikalahkan makananku sendiri. Aku harus jadi serigala.

"Tahun '60-an... '70-an...." gumam Doni. "Semua pedagang harus menyewa lapak padanya. Nggak ada saingan waktu itu. Bisa dibilang dia satu-satunya konglomerat di sini."

"Terus?" Aku mengusap keringat yang mengucur di dahiku.

"Kau salah kalau mengira Lius cuma 'orang kecil'. Backup-nya kepala preman di pasar. Orang itu yang bebasin dia di kasus sebelumnya."

Kembali lagi ke sini....

"Aku nggak bisa nuntut dia di luar yang tertulis di BAP," tandasku.

"Kreatiflah sedikit. Saksi-saksimu siapa aja?"

Aku benci membicarakan pekerjaan di luar jam kerja. Kepalaku bisa berasap.

Aku menyebut nama-nama saksiku dan apa hubungan mereka dalam kasus yang kutangani. Doni mendengus merendahkan. "Kau bakal kalah."

"Aku cuma menjalankan tugasku. Kau tahu sendiri pengadilan itu cuma panggung sandiwara. Apalagi kalau yang kita jerat orang kaya, atau yang punya pengaruh seperti katamu tadi. Jadi apa yang terjadi sama bedebah Oenang ini?"

"Coba kau tebak." Doni melanjutkan makannya dengan lahap.

"Dia bangkrut, kelilit utang, dan membawa keluarganya lari ke luar negeri?"

Doni hanya mengunyah makanannya dan tidak menjawabku.

"Ada kompetitor masuk?" tambahku.

"Mungkin," kata Doni apatis. "Bangkrut itu benar. Kelilit utang juga benar. Kabur ke luar negeri yang salah."

"Bukan karena krismon, ya?"

"Mereka sudah jatuh sebelum dihantam krisis moneter. Oenang sendiri sudah cukup tua waktu itu. Kalau nggak salah umurnya 76 waktu meninggal."

Aku menyeruput es tehku yang tidak manis. "Dia meninggal di rumah itu?"

Doni mengangguk. "Kau lihat kompleks pemakaman mewah di dekat danau itu? Ya itu kompleks pemakaman keluarga Oenang. Suami, istri, anak-anak, cucu... semua dikubur di situ."

Aku mengernyit. "Mereka semua benar-benar sudah meninggal? Meninggal barengan?"

Awalnya kupikir cerita Venus itu cuma omong kosong. Sekarang setelah mendengar cerita versi abangku, yang dari dahulu kupercayai melebihi siapa pun di dunia ini, aku tahu memang ada yang tidak beres dengan keluarga penghuni rumah nomor 1 di Jalan Anggrek.

EternityWhere stories live. Discover now