19 Luna

146 50 23
                                    

Dia sedang membaca jurnal terbaru tentang penyakit menular hewan ternak ketika Adam tiba di rumah. Dia membukakan pintu untuk suaminya, dan kaget melihat kilatan murka di matanya. Luna bertanya-tanya dalam hati ada masalah apa. Apakah Adam marah padanya? Apakah Adam mau mengusirnya dari rumah ini?

Namun, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Luna sampai beberapa lama.

"Hey, Darling," kata Adam datar, tanpa perasaan menggebu-gebu. Ia membuka jaket dan melemparnya asal-asalan ke sofa ruang tamu.

Luna memungut jaket itu untuk digantung di belakang pintu kamar. "Is everything alright?"

Adam sudah berderap ke bagian belakang rumah, tapi berhenti sejenak untuk menyahuti Luna. "Why? Sure."

Aroma parfum Adam yang bercampur emisi jalanan pada jaket itu terlalu memualkan bagi Luna, tapi ia tahu ada yang tidak beres pada suaminya dan tidak ingin mencari masalah. Ia hanya menahan napas ketika meletakkan jaket itu ke tempat yang semestinya.

Meskipun suasana hatinya sedang buruk, Adam masih menyempatkan diri untuk menyiapkan makan malam "basic survival" untuk Luna. Itu menjadi lelucon pribadi mereka sejak Luna mulai muntah-muntah. Luna bisa merasakan betapa seriusnya komitmen Adam untuk menjaganya, bahkan ketika dirinya sendiri tidak sedang baik-baik saja.

Luna berharap bisa mengajaknya bicara, atau minimal mengurangi ketegangannya saat makan malam.

Selagi Adam mandi, Luna menata meja makan dan membantu mertuanya memanaskan lauk.

Gejala mualnya berkurang saat malam, meskipun indera penciumannya tetap memersepsikan bau dengan cara yang ganjil.

Adam menghampiri meja makan dalam keadaan segar dan wangi, tetapi bukan wangi yang disukai hidung Luna saat ini.

"Thanks," kata Adam dengan nada yang lebih hampa ketika melihat Luna mengambilkan nasi untuknya. Wangi nasi yang baru tanak juga sangat buruk menurut penciuman Luna.

"Kamu makan juga?"

Karena Adam sudah menyiapkan makanan pertahanan hidup dasarnya, Luna ikut duduk di meja makan untuk menemani suaminya. Lidahnya memberontak ketika segigit makanan memasuki mulutnya, tetapi Luna menahan gelojak itu sekuat tenaga untuk menghargai Adam.

Pada akhirnya, pertahanan Luna jebol. Ia menjeluak tepat di depan Adam, lalu buru-buru lari ke kamar mandi. Di belakangnya, Adam berteriak, "Why, Luna?" diikuti bunyi piring keramik yang diempaskan keras-keras ke lantai.

Jantung Luna seketika terjun, kemudian berdebar keras hingga sangkar rusuknya bergetar. Keinginan muntahnya lesap begitu saja, tetapi ia terlalu takut untuk kembali ke ruang makan. Ia bersembunyi di kamar mandi.

Dari pelosok lain rumah, Umi berteriak dengan suara melengking, entah karena kaget, marah, atau campuran keduanya.

Luna diam di sana, entah berapa lama, hingga terdengar ketukan di pintu. Ibu mertuanya.

"Gimana keadaanmu, Luna? Sudah selesai?"

Luna menggeser gerendel dan pintu terbuka. Sang mertua mendesah lega. "Kamu nggak apa-apa, kan? Kena beling?"

Luna menggeleng.

Seakan memahami ketakutannya, Umi pun berkata, "Nggak apa-apa, Abang sudah masuk kamar. Kayaknya tidur. Yuk, keluar."

Dengan enggan, Luna meninggalkan tempat amannya.

"Abang itu kelihatannya mellow, tapi dia punya bibit temperamental dari ayahnya juga," jelas Umi. Kekacauan di ruang makan sudah dibereskan. Mendadak Luna merasa bersalah karena justru melarikan diri dan melimpahkan tugas yang seharusnya miliknya pada sang mertua.

"Umi, maaf ya, aku nggak ikut beres-beres."

"Nggak apa-apa." Umi menyentuh punggungnya. "Abang tadi kenapa?"

Lagi-lagi Luna menggeleng. "Abang marah karena aku muntahin masakannya. Meski sudah disabar-sabarin, akhirnya orang capek juga ngelihat usahanya selalu disia-siain, Mi."

"Seharusnya nggak boleh gitu," kata Umi. "Namanya orang lagi hamil, ada aja kendalanya. Nanti kalau punya anak harus lebih sabar lagi. Nggak bisa sedikit-sedikit lempar piring."

Luna berusaha keras menyamarkan dengusan pahitnya.

Tangan Umi masih berada di punggungnya, kini membelai. "Kamu yang kuat, ya. Kita sebagai istri harus banyak maklumnya. Apa pun yang terjadi, sebisa mungkin kita tetap menjadikan rumah senyaman mungkin waktu suami pulang kerja. Kalau perlu kita jadi spons yang menyerap keluh-kesahnya sepanjang hari. Sudah begitu pun, kadang masih salah juga kita."

Luna mendengus lagi, kali ini sambil tersenyum. Dia balas mengelus-elus punggung sang mertua, yang hidupnya pasti lebih berat karena di masa lalu, ayah Adam jauh lebih beringas.

*

Dia berusaha menyibukkan diri hingga larut, mengulur-ulur waktu untuk masuk kamar. Namun, akhirnya waktu itu datang juga. Luna memutar kenop pintu perlahan-lahan, penuh kehati-hatian, tak ingin membangunkan Adam jika ia sedang tidur. Hal terakhir yang ingin dia dapatkan adalah membangunkan orang marah yang sedang tidur.

Luna mengumpat dalam hati ketika engsel pintunya berkeriut saat membuka. Semesta tak mau bersekutu dengannya. Dia mengintip dulu keadaan di dalam kamar yang temaram.

Adam tidur di ranjang mereka dengan posisi telungkup. Napasnya pelan dan teratur.

Luna hampir saja membanting pintu karena menggondok. Bisa-bisanya orang ini tidur seolah-olah tidak ada perasaan yang terkoyak akibat ledakan amarahnya tadi. Dia berbaring di sebelah suaminya, juga telungkup, tetapi untuk meredam isak tangisnya di bantal.



Dari Pengarang:

Selamat hari ibu dari buibu yang lebih mirip beruang jantan di musim kawin daripada buibu tulen.






EternityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang