20 Venus

147 52 28
                                    

Ketika mendengar ketukan berat di pintu depan pagi-pagi sekali, kupikir Giga yang datang. Kadang-kadang dia membagikan sarapan buatan ibunya. Kadang-kadang dia perlu pinjam sesuatu. Namun, ternyata bukan dia yang datang. Saat aku membuka pintu, Herman yang semula berdiri membelakangi pintu pun menoleh. Dia sudah berpakaian dinas pagi-pagi begini.

"Jaket." Tangannya terulur padaku.

Oh, jaket bau itu! Aku sudah lupa di mana meletakkannya. Jangan-jangan sudah kumasukkan ke tempat sampah.

"Belum dicuci, Bang."

"Udah, nggak apa-apa. Dingin, nih."

Pagi ini udaranya memang terasa tajam di kulit. Kabut embun mengambang rendah di rawa sebelah rumahku.

"Jaket Abang cuma satu?" Aku menertawakannya.

"Berisik. Cepetan!" Tangannya diulurkan lagi.

Aku menyuruhnya duduk dulu di ruang tamu sementara aku mencari benda celaka itu. Di mana, ya? Sepertinya tidak pernah kubawa ke kamar. Oh, dasar Venus pikun.

Pada awal SMP dulu, aku pernah terjatuh ke sumur di sebelah rumah. Salahku sendiri karena berbadan kikuk. Gara-gara kejadian itu, mataku rusak dan ingatanku tidak pernah benar-benar pulih lagi. Bahkan sampai sekarang aku masih sering melupakan letak benda-benda kepunyaanku sendiri.

Rumahku cukup besar, tetapi terasa sempit karena disesaki banyak benda. Sebagian besar merupakan benda-benda milik ayahku yang katanya sayang dibuang. Aku tidak berani memindahkannya ke mana-mana meskipun ayahku jarang pulang. Ia memilih tinggal di kota lain dengan istri barunya. Jadi, sekarang aku cuma sendirian di rumah ini, menjadi penjaga gudang barang-barang yang tak terpakai. Ibuku tidak pernah datang lagi sejak keluar dari penjara. Luna juga jarang mampir ke sini sejak menikah. Jika aku mati... rumah ini akan kosong selama berdekade-dekade seperti rumah keluarga Oenang. Jika aku menjadi hantu, aku akan bersemayam di rumah ini sendirian, tidak seperti keluarga Oenang yang masih bersama di keabadian.

Oh, kenapa pencarian jaket Herman malah membuatku bernostalgia dan merasa sedih?

Itu dia! Akhirnya ketemu di kursi makan.

Benar juga, kursi makan. Aku biasanya keluar-masuk lewat pintu samping yang langsung mengarah ke ruang makan. Pintu depan hanya untuk tamu.

Aku beranjak ke ruang tamu untuk menyerahkan jaket kulit kumal itu, tapi ekspresi Herman terlihat aneh.

"Kau kenapa? Nangis?"

Aku buru-buru mengusap air mataku. "Kelilipan."

Itu nggak bohong, kok. Rumahku memang banyak debunya.

"Beneran cuma kelilipan? Kok keluar terus?"

"Udah, nggak usah nanya-nanya!" Isak tangisku justru meledak. Aku memerosot di sofa kecil dan membenamkan wajahku ke tangan.

"Ve—" Herman berlutut di dekatku. Terlalu dekat sampai aku bisa mencium parfumnya. "Maaf kalau cara bicaraku terlalu kasar tadi."

Herman biasanya berkata-kata sarkastis padaku, karena dia sok kiri dan menuduhku sebagai wanita borjuis penindas. Jadi aku kaget mendengarnya minta maaf.

Aku mengusap wajahku dengan lengan dan mengeraskan diri. Aku membalas tatapannya. "Aku nggak apa-apa, Bang. Jangan geer, deh. Aku bukan nangis karena Abang, kok."

"Beneran nggak apa-apa, nih?"

"Iya, beneran," jawabku jengkel. "Bukan kali ini aja aku sendirian di sini."

Herman bangkit, tapi urung beranjak. "Kau kesepian? Mau nebeng sampai ke tempat Giga? Siapa tahu di sana ada teman ngobrol."

Oh, sial. Kenapa sih, aku tidak bisa mengatur apa yang keluar dari mulutku sendiri? Bukan itu yang mau kukatakan padanya!

EternityWhere stories live. Discover now