Bab.11 || Perihal Kecewa Dan Amarah

2.5K 367 241
                                    

.


Setiap manusia yang hidup pasti pernah mengalami, yang setiap harinya, ada saja hal yang membuat hidup terasa begitu berat bahkan untuk sekedar menarik napas. Ada saja masalah, yang membuat kita lupa untuk bersyukur.

Biru hanya tidak habis pikir, kenapa hampir semua orang terdekatnya akan mendekat padanya saat membutuhkan sesuatu darinya. Lalu saat Biru tenggelam dalam keputusan asaan, tidak seorang pun yang menengok ke arahnya. Tidak ada satupun yang sudi mengulurkan tangannya untuk Biru.

Apa ... manusia memang seegois itu?

Sejenak Biru terpaku untuk berandai-andai, apakah bisa Biru berkata tidak saat orang lain meminta pertolongannya?

Meninggalkan Laras yang putus asa saja, Biru sudah di serang rasa bersalah begitu besar. Padahal jika di pikir, itu adalah hak Biru untuk marah. Hak Biru untuk menolak. Biru sudah tidak tahu berapa lama ia berjalan di tengah guyuran hujan yang jatuh membasahi bumi, sejak ia meninggalkan Laras dengan tangis pilunya yang meraung pedih.

Kepala Biru yang sejak tadi menunduk perlahan mendongkak, menatap bangunan kokoh yang menjadi tempatnya bernaung, tempatnya untuk pulang.

Biru pandangi pagar besi yang menjulang di hadapannya. Sejenak Biru menggantungkan harapnya, agar Galaksi sudi untuk memberi sedikit rengkuh hangatnya, sebab Biru sedang berada di titik rendah kewarasannya.

Dengan langkah gontai, Biru memasuki pelantaran rumah Galaksi. Bocah itu baru saja hendak membuka pintu rumah tersebut, sebelum pintu jati tersebut lebih dulu dibuka dengan kasar dari dalam.

Detik setelahnya Biru bisa menangkap presensi Galaksi yang tengah menggendong Reksa yang tidak sadarkan diri dengan wajah panik, pun juga Oma yang menyusul dari belakang.

"K-kak Gala ... Reksa kenapa?"

Biru suarakan tanya dengan nada bergetar. Meski hujan kini berubah menjadi rintik gerimis, tubuh basah kuyup Biru tidak mampu menahan sensasi mengigil hingga bibirnya yang membiru bergetar kedinginan.

Namun tepat saat tanya itu memecah kepanikan Oma dan Galaksi, yang Biru dapati setelahnya adalah tamparan terlampau kuat yang menghantarkan panas di pipi kirinya, hingga tubuh Biru tersungkur menghantam lantai saking kuatnya tamparan tersebut.

"Kamu! Dasar anak tidak tau diri! Kehadiran kamu hanya sebagai benalu di hidup cucu saya!" Murka Oma dengan telunjuk yang menunjuk- nunjuk wajah Biru.

"Aku salah apa lagi, Oma?" tanya Biru dengan tatapan sayunya. Satu tangannya memegangi pipinya yang masih terasa panas, bahkan ada rasa anyir yang dapat Biru kecap dari sudut bibirnya.

"Saya sudah bilang sepulang sekolah jangan keluyuran kemana-mana. Temani Reksa yang sedang sakit di rumah. Tapi kamu bahkan baru pulang menjelang tengah malam, membiarkan Reksa sendirian saat sedang sakit. Lihat! karena kebodohan kamu, Reksa kambuh sampai pingsan!" tuding sang Oma dengan emosi meluap-luap.

Biru alihkan tatapan pada sosok Reksa yang tak sadarkan diri dalam gendongan Galaksi. Ah, bahkan Galaksi pun hanya menatap dingin pada nya.

Biru memang ingat saat hendak berangkat sekolah tadi, Oma bertitah agar Biru menjaga Reksa karna anak itu sedang sakit. Biru pun mengiyakan tanpa berani menolak.

Biru juga ingat bagaimana pesan yang Galaksi kirimkan padanya untuk tidak kemana-mana sepulang sekolah. Sungguh, Biru benar-benar tidak bermaksud melupakan pesan tersebut.

Namun, untuk Biru yang berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki, pun juga pertemuan nya dengan Laras yang tak terduga. Biru tidak mampu untuk menolak ajakan budenya. Biru bahkan menghabiskan satu setengah jam untuk berjalan kaki saat pulang.

Rengkuh Sang BiruWhere stories live. Discover now