Bab.12 || Patah, Hancur Lebur, Tercerai Berai.

3K 381 260
                                    


_____________________

Angkasa di luar sudah cukup gelap untuk seseorang berada di luar. Aroma tanah yang basah selepas hujan masih terasa kental meski hujan telah mereda sepenuhnya. Pun bagaimana dingin udara malam selepas hujan yang menusuk kulit masih begitu terasa.

Meski begitu, kemerlap suasana ibu kota di malam hari tidak pernah absen dari sibuk. Padat kendaraan yang berlomba untuk melaju lebih dulu masih menjadi pemandangan yang kerap terlihat.

Di antara padatnya kendaraan yang berlalu lalang, di pinggiran jalan sana sosok Biru berjalan tak tentu arah dengan pandangan kosongnya.

"Aku harus kemana ... " lirih Biru dengan suara bergetar.

Sepasang cokelat madunya yang sayu berkeliling menatap sekitarnya, sebelum terhenti pada sepasang sepatu usang yang ia kenakan.

Sudah terhitung delapan jam sejak Biru putuskan meninggalkan rumah Galaksi pukul dua siang tadi, dan yang Biru lakukan hanya berkeliling tak tentu arah tanpa tempat tujuan.

"Ibu, bapak, Biru harus kemana. Biru capek, Biru lapar, Biru ngantuk," keluh si mungil sambil merehatkan tubuh ringkihnya di pelantaran ruko kelontong. Netra cokelat madunya mendongkak menatap langit yang perlahan menampakkan hamparan bintangnya.

Malam semakin larut dan Biru belum menemukan tempat untuknya sekedar bermalam. Biru hanya membawa tas selempang usang berisi pakaian lamanya, serta ransel kecil yang terisi buku paket dan seragam sekolahnya.

Seluruh barang dan pakaian pemberian Galaksi tidak Biru bawa. Pun bahkan smartphone pemberian Galaksi untuknya Biru tinggalkan di kamarnya.

Dan di saat seperti ini Biru tidak tahu bagaimana cara menghubungi sahabat karibnya, Arayaksa. Sebab hanya Arai lah yang tersisa sebagai tempatnya untuk pulang saat hampir seluruh keluarganya menolak hadirnya. Untuk pergi ke rumah Arai pun Biru tidak tahu alamatnya.

Ya, Biru memang bersahabat dengan Arai sudah cukup lama. Namun setiap Biru ingin bermain di rumah Arai, bocah itu selalu berdalih ibunya sibuk melakukan sesi wawancara. Sebab yang Biru tahui Ibu kandung Arai cukup terkenal sebagai aktris dan model papan atas.

"Heh bocah, ngapain kamu tidur di depan ruko saya."

Lantang suara bernada tegas itu membuat Biru yang terkantuk-kantuk hampir terlelap tersentak di tempatnya. Bocah itu mendongkak menatap wanita paruh baya berdaster khas ibu-ibu menatap nyalang dirinya.

Biru bangkit dengan tergesa-gesa, pun netra sayunya yang menatap takut wanita di hadapannya.

"B-bu saya boleh numpang tidur di teras tokonya ibu nggak? Malam ini aja bu. Saya janji besok pagi langsung pergi." Kendati rasa takut mendominasi, Biru beranikan untuk suarakan permohonannya. Sebab asa yang Biru miliki hampir menghilang bersama harap yang perlahan redup.

"Kamu pikir toko saya tempat penampungan gembel. Minggir sana! Saya mau tutup toko!" usir wanita pemilik toko, sambil bersiap menutup gerbang tokonya.

Melihat wanita yang hendak menutup gerbang teras toko tersebut membuat Biru tanpa pikir panjang meraih tangan sang ibu dan menggenggamnya dengan jemari mungilnya yang dingin.

"Saya mohon, bu. Saya nggak tahu mau tidur di mana malam ini. S-saya cuma numpang di terasnya ibu, a-atau di depan pagar juga gak papa. Saya janji gak bakal ganggu ibu," lirih Biru mengiba, sepasang kelereng cokelat madunya telah sempurna berbingkai kaca. "Saya mohon, bu. Saya nggak tau mau kemana lagi."

Si mungil mendongkak perlihatkan netra sayunya yang berkaca-kaca. Bibirnya bahkan bergetar menahan tangis juga dingin yang menusuk sedari tadi.

Wanita pemilik toko tersebut sedikit terenyuh. Dengan kasar ia hempaskan tangan mungil Biru sebelum berbalik memunggungi Biru.

Rengkuh Sang BiruDove le storie prendono vita. Scoprilo ora