04. Halaman Belakang

1.7K 95 0
                                    

"Kenapa?" tanya Asmi dengan suara bergetar menahan tangis.

"Mengapa?"

"Mengapa Bapak akan menikahiku, tanpa bilang atau minta persetujuanku dulu? Bapak sudah punya istri lebih dari satu?"

Kali ini, Asmi tidak dapat menahan tangisnya. Dia berlutut, tersedu-sedu berusaha menumpahkan kesedihannya.

"Suatu saat kamu akan mengerti."

"Tidak! Aku tidak mau mengerti!"

Tama berlutut di hadapan Asmi yang menunduk. Lalu, pria itu meraih dagu gadis itu sambil menatapnya tajam.

"Dengar ya, Asmi. Aku sudah membelimu. Aku membelimu, bukan menyewamu. Jadi terserah mau aku apakan dirimu."

Asmi terdiam. Hanya dadanya yang naik turun, sebab berusaha menahan tangisan.

"Yang bisa kamu lakukan, hanya menurut padaku!"

Setelah mengatakan itu, Tama duduk di tempat biasa dia bersantai. Tidak peduli lagi atas protes atau sikap Asmi yang menjengkelkan.

"Wanita yang berambut pendek tadi, bernama Sita. Sedangkan wanita berambut panjang, mungkin kamu pikir dia yang tercantik, bernama Aida. Ingat-ingat nama mereka, Asmi." Tama menjeda bicaranya, sebab dia butuh menjelaskan lebih banyak mengenai wanita yang satu lagi.

"Satu lagi, Maryana. Dia adalah istri pertamaku, sekaligus ratu di rumah ini. Dia yang akan mengurus semua keperluan domestik. Tolong, hormati dia."

Asmi, memandang ke sekitar, angin yang bertiup terasa semakin dingin menerpa wajahnya yang basah oleh air mata.

Dia teramat marah. Terlebih, dia sangat sedih mengetahui bahwa dirinya tidak akan menjadi ratu. Mungkin selamanya.

Padahal dalam bayangan Asmi, di masa depan dia akan menjadi ratu dan satu-satunya wanita yang dicintai oleh seorang pria. Sekali lagi dia menangis, lebih hebat dibandingkan sebelumnya.

"Mari kuantar ke bawah. Kamu tidak boleh membanjiri tempat ini."

Tama membantu Asmi bangkit. Lalu mereka berjalan ke arah tangga.

"Mbaaaak!" panggil Tama saat dia sampai di depan lorong menuju kamarnya.

"Iya, Tuan."

"Tolong antar Asmi ke tempatnya. Antarkan makanan juga."

"Baik, Tuan."

Seorang pelayan mengajak Asmi turun. Namun, dia ragu dan juga takut.

"Aku lelah sekarang," ucap Tama sambil berlalu menuju kamarnya.

"Mari, Neng, ikut saya."

"Baik."

Ketika sampai di lantai bawah, Asmi memihat ketiga istri Tama masih duduk di sofa bersama. Dia mengangguk dan mencoba tersenyum ramah, tetapi para wanita itu malah menatap sinis dirinya.

Mereka pikir, Asmi senang? Mereka pikir Asmi mau? Mereka pikir ini keinginan Asmi? Pertanyaan demi pertanyaan itu pun muncul di dalam kepala dan sekarang, dirinya benar-benar dipenuhi kemarahan, kecewa, dan sedih yang hari ini, datang terlalu bertubi-tubi.

INSYAALLAH, SUAMIMU JODOHKU (TAMAT)Where stories live. Discover now