36. Kenyataan Pahit

830 54 2
                                    


Sambungan telepon Aida akhirnya tersambung dengan Maryana. Dia langsung menangis, mengadukan apa yang baru saja dia alami.

"Kurang ajar banget si Asmi!" maki Maryana.

"Tapi, Mbak Mar apa yang dia bilang benar, kan? Kalau Mbak Mar nggak ingin kami punya anak? Iya?" Akhirnya, Aida untuk pertama kalinya berani menuntut jawaban pada kakak tertua itu. Orang yang selama ini selalu dihormatinya.

"Ma-mana mungkin seperti itu, Aida. Itu akal-akalan si Asmi saja supaya menghasut kita."

"Katakan dengan jujur, Mbak!" 

"Aida … dengar, ya. Selama ini kita bertiga, aku, kamu, Sita, kita selalu hidup rukun bersama. Kita selalu berbagi, dan saling menyayangi."

"Iya, Mbak."

"Tapi semenjak kedatangan Asmi--" Maryana menarik napas dan mengembuskannya dengan kasar, geram.

"Sejak ada dia, dia mencoba memecah belah kita. Dia mencoba mengadu domba kita, Aida. Kamu sadar itu?"

"Mbak Maaar."

"Sudah. Kamu jangan nangis. Kita bicarakan ini nanti di rumah. Aku akan pulang lebih cepat, Aida. Kamu tenang dulu, ya."

"Iya, Mbak."

"Istirahatlah, Aida."

"Makasih, Mbak."

Usai menerima telepon dari Aida, Maryana hampir saja membanting handphone-nya karena kesal bukan main. Dia tidak habis pikir, bisa-bisanya si Asmi yang baru datang itu mampu memahami tujuannya dan malah mengambil langkah untuk membeberkannya kepada Aida. 

"Tidak bisa dibiarkan!"

Amarah Maryana mendidih. Dia berpikir, untuk secepatnya saja melenyapkan wanita muda bernama Asmi itu. Tidak perlu menunggu lama. Salah sendiri, tidak mau dibaik-baiki, malah menabuh genderang perang, batin Maryana.

Sementara itu, Asmi sedang dalam perjalanan bersama Pak Yan menuju kebun sayur. Asmi ingin sekali segera bertemu dengan Tama. 

"Masih jauh, Pak Yan?" tanya Asmi dengan kurang sabar. Padahal Pak Yan sudah mengendarai mobil dengan laju yang cepat. 

"Lumayan, Neng. Kebun itu kan, ada di luar daerah kabupaten kita, Neng. Udah kabupaten sebelah. Sabar ya, Neng."

"Iya, Pak."

Asmi kembali menyandarkan punggungnya. Merilekskan diri, mencoba bersabar dengan keadaan. Padahal, pemandangan di sekitar mereka tampak luar biasa. Namun, saat ini Asmi tidak sedang dalam mood yang bagus untuk mengamati pemandangan.

Dia masih kesal dengan sikap Aida barusan. Bagaimana wanita itu, mencoba menginjak-injak harga diri Asmi. Perlakuan buruknya yang keterlaluan itu, sungguh tak layak rasanya jika Aida mendapatkan cinta dan kasih sayang dari Tama.

Terlebih, dia sedih bila mengingat pria itu. Tama yang malang. Sekarang Asmi paham, mengapa pada awal perkenalan mereka Tama mengatakan kalau hanya Nenek yang peduli padanya. 

Asmi jadi bertanya-tanya, sebenarnya siapa yang paling berharga bagi Tama dan sebaliknya? Asmi terus memupuk kesabaran, hingga dia sadar kalau Pak Yan memelankan laju mobil.

Ada beberapa truk pengangkut yang sedang menaikkan muatan berupa karung-karung sayur di pinggir jalan. Lalu hamparan kebun sayur yang luas dan cekung itu, menyambut Asmi.

"Kita sampai, Neng."

"Makasih, Pak Yan!"

Sesegera mungkin Asmi keluar dari mobil, dengan melompat dan melesat menuju kebun. Dia berpapasan dengan orang-orang yang memanggul karung di jalan yang miring. 

INSYAALLAH, SUAMIMU JODOHKU (TAMAT)Where stories live. Discover now