28. Ciuman yang Mendebarkan

1K 58 0
                                    

Sita dan Asmi berjalan untuk kembali ke bengkel. Sesampainya di sana, dia langsung diarahkan ke belakang, tempat para karyawan istirahat. Ada sedikit ruang untuk duduk lesehan, kamar mandi, serta tempat yang dikhususkan untuk beribadah.

"Nah, Asmi kamu bisa sholat di sini."

"Makasih, Mbak Sita. Permisi, ya," ucap Asmi sopan sambil berlalu di depan anak-anak lain.

Dia mengambil wudhu dan bersegera menjalankan sholat Dzuhur. Asmi sekarang merasa, di mana pun dia berada dirinya akan merasa aman dan nyaman jika tetap menjalankan sholat. Mungkin itulah salah satu alasan Bu Haji. Agar Asmi merasa damai di tempat baru.

Usai sholat dia kembali ke depan menemani Sita. Siap menunggu perintah yang diberikan oleh Sita. Waktu yang digunakan untuk bekerja, ternyata terasa jauh lebih cepat ketimbang jika Asmi hanya di rumah saja. 

Setelah berusaha membantu Sita, tahu-tahu sudah adzan lagi. Dan Asmi pun menjalankan sholat Ashar. Rasanya waktu berjalan cepat sampai ketika Sita mengajaknya pulang.

"Yuk, siap-siap pulang."

"Eh, udah mau pulang, Mbak?" 

"Kamu betah di sini?"  Sita mengajukan pertanyaan itu sambil tertawa, iseng. Namun justru dibalas anggukan yakin oleh Asmi.

"Tapi kita harus segera pulang sekarang. Kalau nggak nanti Tama marah." Ketika mengatakan itu, ada yang terasa sakit dalam dada Sita. Apakah itu berasal dari rasa iri dan cemburu?

Tama pasti sedang ingin dekat-dekatnya dengan Asmi. Bahkan seharusnya Sita langsung menyuruh gadis itu pulang saat tahu dia datang.

Sebelum pulang, Sita tiba-tiba merasa matanya kering dan sedikit gatal. Maklum saja, pekerjaannya memang mengharuskan Sita kotor-kotoran dan terkadang dia juga terpapar bahan kimia. 

"Duh, mataku!"

"Kenapa, Mbak?"

Sita merogoh tas mungilnya. Mencoba menemukan obat tetes mata di antara beberapa barang keperluan lain.

"Asmi kamu mau permen?" tawar Sita.

"Mau, Mbak."

Setelah mendapatkan obat tetes matanya, Sita bergegas mengambil permen. Tetapi, ada barang lain juga yang tidak sengaja dia angkat karena agak mirip dengan kemasan strip permen.

"Eh!" Sita buru-buru memasukkannya lagi. Memberikan permennya pada Asmi, lalu meneteskan obat ke kedua matanya.

"Mbak Sita, pil KB kita sama."

"Tentu aja, Asmi. Ini kan, Mbak Mar yang beli," jawab Sita santai sambil menggerakkan tuas persneling.

"Jadi, Mbak juga dikasih sama Mbak Mar?" Sita mengangguk.

"Ow!"

Mereka berdua diam untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya, Asmi memberanikan diri bertanya, "Apa Mbak Sita, nggak ingin punya anak?"

"Hah? Apa?" Sita pura-pura tidak mendengar pertanyaan yang Asmi lontarkan barusan.

"Hmm, Mbak Sita, Mbak Sita."

"Lagian kamu aneh-aneh aja tanyanya."

"Soalnya Mbak Sita patuh banget sama Mbak Mar. Kayaknya sih, gitu."

"Mungkin iya, Asmi. Karena dia juga kan, terpaksa menerimaku. Kami berdua sama-sama ada nggak enaknya. Apa aku mau punya anak? Mungkin iya, nanti. Nggak sekarang. Karena sekarang aku masih mau bebas, itu dari sisi aku. Kalau dari sisi keluarga, kata Mbak Mar, keuangan kita belum stabil makanya kita harus kerja dulu untuk beberapa waktu. Mungkin beberapa tahun. Lagian aku masih muda juga. Nggak buru-buru."

INSYAALLAH, SUAMIMU JODOHKU (TAMAT)Where stories live. Discover now