04. Chance

763 87 27
                                    

Empat tahun yang lalu, remaja muda melangkah semangat, seusai puas mencorat-coret seragam putih abu-abunya bersama kawan seperjuangan. Kesempatan menata ulang mimpi menyambut, masa yang lebih indah dari pra remaja dimulai.
Bagaimana ia menentukan tujuannya, menggantungkan mimpi pada hobi. Hobi yang menurut banyak orang menjadikan dirinya terlihat idealis. Lebih dari sekedar pintar. Dunia literasi.

Masa-masa itu terulang dalam pikirannya. Orientasi mahasiswa yang penuh kobaran semangat. Dimulainya perkuliahan lalu tugas menumpuk yang meronta ingin segera diselesaikan, KKN yang terasa seperti refreshing selama 35 hari hingga tugas akhir yang membuat mahasiswa berubah menjadi zombie. Semua itu bukan perjuangan yang mudah ya kan?

Lalu, setelah semua "terlihat" berakhir, maka akan datang bab baru dimana yang tadinya dituntut untuk idealis, dunia malah menjungkirbalikkan dengan realitas bahwa sesungguhnya proses mencari rupiah hanya bisa diperoleh oleh orang-orang yang bisa membaca dan mengikuti tuntutan masyarakat.

Disinilah ia berada, mengikuti jaman yang hampir gila. Sebetulnya banting setir tidaklah salah, tapi ini masalah idealismenya tentang naluri. Bahwa sains itu ditemukan bukan diciptakan oleh bayang-bayang imajiner. Ia menampik satu ilmu sains, bahwa gender manusia tidak hanya laki-laki dan perempuan. Interseks saja sudah dikelompokkan menjadi empat puluh tiga jenis, mana mungkin orientasi seksual hanya dikelompokkan menurut jenis kelamin saja. Tidak semua laki-laki memiliki kromosom XX dan tidak semua perempuan memiliki kromosom XY.

Lalu bagaimana seseorang bisa menjadi homophobic? Mayoritas alasan utamanya adalah paradigma yang sudah ditanam sejak kecil oleh masyarakat yang menganggap dirinya "normal" tapi sayangnya juga tidak menerima adanya perbedaan. Sains itu fakta, tak ada benar dan salah. Lain halnya dengan ilmu moralitas manusia, judgement tentang benar dan salah,atau wajar dan menyimpang melekat erat sebagai suatu penilaian.

Lebih dari seminggu, Taehyun masih belum menemukan jalan, bagaimana ia akan menarasikan seorang homoseksual. Ia saja benci, mana bisa menuangkan kalimat deskripsi. Padahal semua buku dari referensi sudah ia baca, mulai dari novel anak sekolah, omegaverse bahkan fantasi yang seringnya malah membuatnya makin begidik ngeri.

Kepalanya makin pening ketika mendapati Mr. Kim mulai menanyakan outline. Ajaibnya, baru ide saja si mister sudah menyetujui. Bahkan berani berinvestasi kalau Taehyun sewaktu-waktu butuh sejumlah rupiah untuk melancarkan imajinasinya. Sebegitu besarkah peluang narasinya?

Dalam penatnya hanya satu orang yang ia rindukan, siapa lagi kalau bukan Hueningkai sahabatnya. Lalu ia memintanya bertemu di kafe langganan, kafe yang terkenal ramah di kantong anak kostan. Bahkan kalau tidak punya uang, Bang Jungkook dengan senang hati memasukan dalam bon hutang, asal dibayar katanya. Seringnya sih kalau kopi hitam tubruk, biasanya jadi gratisan.

Masih menatap layar laptop, Taehyun mencoba mengetik apapun yang keluar dari dalam pikirannya, tapi fokusnya teralih. Mendingan menyesap rokok, nyeruput kopi akhir bulan juga lebih enak. Hueningkai yang sedari tadi ditunggu baru saja tiba. Seperti biasa mereka selalu tos ala slamdunk.

"Jadi lo belum nemu feel buat naskah lo?" tanya Kai mulai membahas kesulitannya Taehyun yang sudah ia jabarkan dalam pesan elektronik.

"Iya nih, ini tuh kaya lo nggak suka tomat tapi suruh minum jus tomat, belum pernah gue sementok ini. Sama sekali nggak bisa dibayangin",keluh Taehyun.

"Gini deh gue ada ide", memang Huening si paling encer kalau masalah ngide.

"Please jangan gila lagi, udah cukup nih gue coba bikin narasi konyol",

"Nggak janji, emang kayanya lumayan gila wkwk, kenapa lo nggak kasih pendekatan langsung aja. Kaya wawancara gitu. Buat ngebangun feel",

"Babi, wawancara sama maho? Yang bener aja lah, gue takut. Lo tau kan gue pernah sampe ngompol dikejar waria depan PLN gara-gara lo isengin",

VERSATILE [Yeontae To Taejun END]🔞🌈Where stories live. Discover now