Emotion ❥ Alen Nevada

519 75 28
                                    

Alen Nevada x Reader

Good/Bad Fortune ©Ariel Duyung

-ˋˏ✄┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈

Aku memiliki sebuah kemampuan.

Sebenarnya ... bukan suatu hal yang berarti sih, toh bukan sesuatu yang dapat berguna bagi orang banyak. Walau begitu, aku memputuskan untuk menyembunyikan fakta ini demi kedamaian hidup.

Jika bertatapan dengan seseorang selama tiga detik maka aku dapat merasakan emosi apa yang tengah mereka rasakan.

Memang sih, tidak terlalu penting. Bukan sebuah kemampuan yang dapat menyelamatkan dunia layaknya di film-film, tetapi nyatanya cukup membantuku dalam bersosialisasi. Namun, tentu saja tak selalu enak memiliki kemampuan semacam ini, karena ... aku jadi canggung dengan orang-orang yang memiliki rasa berbeda padaku.

“(Name)! Selamat pagi!”

“Pagi ....” Hanya senyum canggung dan balasan sapa yang bisa aku lakukan.

Karena aku tahu, sebenarnya anak ini tidak menyukaiku malah cenderung membenci, dia hanya sekadar basa-basi, bersikap baik demi mengejar label 'anak baik'. Sebenarnya aku tidak masalah soal dirinya yang tidak menyukaiku, toh manusia memang tidak bisa memaksakan semua orang untuk menyukai diri mereka bukan, tetapi ... sikap anak itu yang tetap baik padaku membuatku jadi tidak nyaman.

Kalau memang membenciku tolong bersikaplah selayaknya begitu, itu yang aku inginkan.

Selama 17 tahun aku hidup, orang-orang macam ini selalu saja berkeliaran di sekelilingku. Di kala hati mereka membenci, sikap mereka malah baik dan ramah padaku.

Jika aku tidak mengetahui yang sebenarnya sih, mungkin tidak masalah, tetapi ... karena aku mengetahui perasaan mereka yang sebenarnya, aku jadi takut dan bingung harus bersikap bagaimana saat bersama mereka.

“(Fullname), kamu dipasangkan dengan Alen Nevada untuk mendekor bagian bawah panggung.”

“Dimengerti!” Aku mengangguk paham.

Alen Nevada, bukan nama yang asing, sebab dialah ketua OSIS saat ini, dia juga sekelas denganku. Namun, aku tidak akrab dengannya, malah sepertinya sekadar basa-basi menyapa pun tidak pernah.

“Mohon kerja samanya, Alen.” Aku berusaha memberi salam seramah mungkin.

“Ya, mohon kerja samanya, (Name),” balas Alen.

Aku tersentak pelan, sedikit kaget dengan emosi yang tengah ia rasakan.

Kami sudah bertatapan selama tiga detik, syarat agar kemampuanku bekerja sudah terpenuhi. Namun, yang barusan itu ... sebuah emosi baru bagiku.

Sebuah perasaan bahagia yang meluap-luaplah yang Alen rasakan. Mungkin ... ia terlampau semangat karena persiapan festival budaya ini. Padahal wajahnya masih kalem seperti biasa, tetapi ternyata itulah yang ia rasakan.

Aku tergelitik untuk tertawa. Rasanya lucu saat melihat wajah kalem Alen di saat aku tahu ia tengah sangat senang dan bersemangat.

Setelahnya kami berdua fokus mendekor bagian bawah panggung, bahkan saat berada dalam kelompok yang sama pun tidak ada percakapan di antara kami, sibuk dengan bagian kami masing-masing. Sampai jam makan siang tiba, barulah aku berniat membuka percakapan.

“Alen, ayo makan siang dulu,” ajakku, “daritadi kita kerja non-stop, isi tenaga dulu, Len.”

Alen mengangkat kepala, tersenyum tipis. “Iya, ayo.”

Aku tidak bisa menahan diri, senyumku ikut mengembang saat melihat dia tersenyum. Apalagi saat rasa senang meluap-luap yang Alen rasakan kembali masuk ke dalam dada, aku jadi tergelitik.

Ternyata di balik wajah kalemnya, Alen bisa mempunyai emosi sebesar ini.

“Ah, penuh,” ujar Alen, menghentikan langkah di depan pintu kantin.

Sepertinya para murid yang lain juga baru makan sekarang setelah tadi pagi bekerja keras tanpa henti. Seluruh kursi penuh, dan antrian sangat panjang macam kereta api.

“(Name), kamu cari tempat duduk di taman saja, nanti aku akan menyusul. Makananmu biar aku saja yang belikan,” tutur Alen.

“Eh? Memangnya tidak apa-apa?” tanyaku, merasa tidak enak.

“Bukan masalah, kok.” Alen menepuk bahuku pelan, lalu bergegas masuk ke dalam kantin yang super ramai itu.

Saat punggung Alen menghilang di kerumunan manusia, akhirnya kuputuskan untuk pergi ke taman, mencari kursi untukku dan Alen. Siapa tahu bakal ada murid yang memilih ke taman juga, aku harus cepat-cepat mencari tempat.

Kuembuskan napas lega kala menemukan tempat duduk. Aku menghempaskan badan ke kursi, menatap sekitar yang ternyata lebih sepi dibanding dugaanku.

“Akh! Benar juga!” Aku memekik pelan. Baru teringat, aku tadi belum bilang pada Alen aku ingin membeli apa.

Yah ... ya sudahlah, terima saja apa yang Alen belikan untukku. Toh dia sudah bersusah payah mau masuk ke dalam kantin yang seramai itu.

Selang beberapa menit aku menunggu, Alen datang dengan nampan berisi mie goreng dan nasi goreng.

“Maaf membuatmu menunggu. Ini.” Alen meletakkan piring berisi mie goreng padaku.

Mataku berbinar senang. “Makasih! Padahal tadi aku sudah panik karena belum bilang mau beli apa, tapi ternyata kamu beli ini. Senangnyaaa!”

Alen tersenyum tipis, beranjak duduk di sebelahku. “Habisnya, kamu selalu beli itu setiap ke kantin, 'kan. Jadi kubelikan itu saja,” katanya.

“Eh? Sebelum ini ... kamu sudah tahu aku?” tanyaku kaget. Awalnya kupikir, aku tidak ada dalam dunianya, ternyata dia mengenaliku.

“Pfftt--” Alen menahan tawanya, lalu menatapku lekat-lekat. “Tentu saja aku tahu, (Name).”

Lagi, setelah bertatapan selama tiga detik aku kembali merasakan luapan kebahagiaan dalam diri Alen, tetapi sekarang ... dibarengi dengan rasa ... gugup?

“Alen ... kamu senang sekali ya hari ini?” Akhirnya aku sempat juga untuk bertanya hal ini, aku sangat gemas karena dia tidak berekspresi sesuai dengan emosi yang dia rasakan.

“Tentu.” Alen mengangguk. “Karena ... tampaknya hari ini aku bisa menghabiskan waktu bersama seseorang yang kusukai,” tambahnya sambil tersenyum.

Refleks aku bertanya untuk memenuhi hasrat ingin tahuku, “Siapa--”

“Kalau tidak salah, kegiatan hari ini akan penuh diisi dengan mendekor, 'kan,” potong Alen, tiba-tiba mengganti topik.

Namun, beberapa saat kemudian aku tersadar.

“Alen ... orang yang kamu sukai itu--”

“Kamu.” Alen bertopang dagu, menatapku lekat-lekat. “Memangnya kamu pikir siapa lagi, (Name)?”

Alen Nevada, dia benar-benar memberikan warna baru di hidupku.

- fin -


AAA, MAAF-MAAF.

Udah mendekati Ramadhan sekolahku ngadain lomba ngehias kelas, mana deadline gak ngotak. Untung masih sempet nulis.

Tapi yah ... karena nulisnya kepotong-potong ini-itu, maafkan jika tida sesuai ekspektasi dan banyak salah.

Hope you like it! Please vote and comment!

𝗦𝗨𝗣𝗣𝗢𝗥𝗧 𝗦𝗬𝗦𝗧𝗘𝗠 [REQUEST CLOSED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang