6. -Gantungan Kelinci-

15 4 0
                                    

"Eh Dir, gimana tadi sore?" Tanya Lily dari sambungan telepon.

"Tadi sore apanya?" Ujar Dira bingung.

"Jangan tiba-tiba amnesia deh, lo kan nebeng Dimas tadi pas pulang"

"Yaps betul, terus?"

"Gimana?"

"Gimana apanya, gak ada apa-apa"

"Masa sih? Lo diajak jalan dulu gak?"

"Enggak"

"Berhenti buat makan?"

"Enggak juga"

"Jadi, dia langsung nganterin lo pulang?"

"Iya"

"Gak berhenti dulu kan?"

"Enggak Lily! Lo kenapa sih banyak tanya dari tadi"

"Lo ngobrol apa tadi sama Dimas? Dia ada bilang sesuatu gak?"

Hening. Tak ada suara dari seberang sana.

"Hallo Dir, Dira! Dimas ada bilang sesuatu gak?!" Duhh jangan ngegas kali lah Li, Dira kagak budeg kok.

"Bilang apa sih? Orang kami ngobrol ngebahas Bagas aja sepanjang jalan"

Kini Lily yang diam saja. Lily aneh pikir Dira. Sebab Lily tiba-tiba menelpon hanya sekedar bertanya padanya saat dia berboncengan dengan Dimas.

Sambungan pun diputuskan oleh Lily.

"Lah? Aneh banget tu anak" Ucap Dira lalu meletakkan ponselnya di atas nakas.

Dira merasa bosan malam ini. PR untuk besok telah ia selesaikan beberapa hari yang lalu. PR yang diberikan gurunya hari ini juga baru saja ia selesai kerjakan.

Saat ayahnya sering di rumah, Dira tak pernah merasa bosan.

Malam-malam seperti ini, Dira dan ayahnya pasti menghabiskan waktu hanya untuk bermain catur, ular tangga, ataupun menonton film hingga Dira ketiduran dan digendong ayahnya untuk tidur di kamar. Duhh kayak anak bayi aja ya.

Dira memang akan manja pada ayahnya, terlebih saat ia sakit. Pasti keinginan Dira akan dituruti semua.

Ya wajar dong, Dira kan anak tunggal. Tapi, kini Dira merasa kesepian karena ayahnya bekerja di luar pulau.

Sudah sebulan lebih ayahnya tidak pulang ke rumah. Sesekali kadang Dira menghubungi ayahnya lewat sambungan video jika rindunya datang tiba-tiba.

Mungkin sekarang Dira sedang rindu ayahnya, karena ia mulai mencari nama kontak ayahnya.

Dira mulai menghubungi ayahnya, namun tak terjawab.

"Ayah pasti lagi sibuk kerja, besok Dira coba lagi" Ucap Dira merebahkan dirinya di atas kasur.

"Bunda sibuk cari stok kopi, ayah ditelpon gak diangkat, Lily tiba-tiba matiin telepon lalu gak aktif, gue harus ngobrol sama siapa?" Ucap Dira bertanya sendiri menatap langit-langit dinding.

"Dimas? Gak mungkinlah, ngapain juga kan" Ucap Dira saat tiba-tiba nama Dimas terlintas di kepalanya.

"Oh iya, Dimas tadi mau ngomong apa ya?" Ucapnya memikirkan pembicaraan Dimas yang terpotong saat terlewat rumah Dira.

*Flashback On*

"Lo ke sekolah jalan kaki ya Dir?" Tanya Dimas.

"Iya"

"Bokap lo katanya pemilik tambang di Kalimantan jadi ya bisa dikatakan orang kaya dong lo, tapi kok jalan kaki" Bingung Dimas, ya author juga bingung. Dira kagak ada supir gitu kek atau setiap hari pakai ojek online ataupun taksi kayak horang-horang kayah di luar sana.

"Rumah gue mah dekat, sepuluh menit jalan kaki udah sampai" Ujar Dira.

Dimas masih saja bingung.

"Nyokap lo pemilik Caffe Wijaya kan? Gue belum pernah ke sana" Ucap Dimas masih fokus mengendarai kuda besinya.

"Ni cowok kepo bet sih urusan orang, sampek ayah bunda ditanyai, udah tau iya masih pakek nanya" Batin Dira.

"Iya, mampir aja ke sana, dijamin pasti suka"

"Iya suka" Ujar Dimas sambil tersenyum.

"Gue mau bilang sesuatu boleh gak?" Tanya Dimas tiba-tiba berubah sangat serius.

"Lo jangan marah ya" Ucap Dimas.

"Ya enggak sih, tapi apa dulu" Ujar Dira yang dibuat penasaran oleh Dimas.

"Tapi jangan marah ni ya" Ucap Dimas menyakinkan Dira sekali lagi.

"Iya, iya"

"Gue mau bilang"

"Mau bilang kalau gu... "

"Stop! Stop Dim! Rumah gue kelewatan" Ujar Dira menepuk-nepuk bahu Dimas.

Dimas kaget lalu memutar balikkan motornya dan berhenti tepat di depan rumah Dira.

Sebuah rumah minimalis dengan taman bunga yang luas. Tampak sederhana, namun megah dipandang orang.

"Makasih Dim udah anterin gue pulang" Ujar Dira.

"Iya sama-sama, gue juga pulang ya" Ucap Dimas menghidupkan mesin motornya.

"Hati-hati Dim!" Ujar Dira saat Dimas melajukan motornya.

Dira memasuki rumah lalu teringat sesuatu.

"Dimas tadi mau ngomong apa ya"

*Flashback off*

"Au ahh. Besok juga pasti bakalan bilang ke gue"

"Palingan mau ingetin gue ke rumah Bagas besok kalau udah piket kelas" Ujar Dira lalu kaget saat ponselnya berdering.

Tertera nomor tidak dikenal muncul di layar ponselnya.

Saat Dira ingin menjawab panggilan telepon tersebut, telah diputuskan sepihak oleh orang pemilik nomor tidak dikenal ini.

"Orang iseng" Ucap Dira meletakkan ponselnya sembarang di kasur lalu berdiri mengambil tas untuk mengemasi buku-buku yang akan dipelajari besok.

"Buku Fisika udah, Matematika udah, bahasa Indonesia udah, buku Biologi juga udah" Ucap Dira mengecek kembali buku-buku yang sudah dimasukkan ke dalam tas.

Saat akan menutup tas, Dira tampak heran.

"Kok baru nyadar ya, ni boneka kelincinya gak ada"

"Perasaan gue gak ada lepasin tu boneka kelinci, kok tinggal pengaitnya doang" Ucap Dira kembali mengingat-ingat.

"Harus tanya bunda"

*

"Bun, ada lihat gantungan kunci tas Dira gak? Yang boneka kelinci kecil itu lho" Tanya Dira saat bundanya baru datang membawa sekardus kemasan bubuk kopi.

"Gak ada" Jawab bunda meletakkan kardus tersebut di atas meja dapur.

"Kenapa?" Tanya bunda pada Dira yang kelihatan panik.

"Hilang bun, tiba-tiba gak ada kegantung di tasnya Dira"

"Jatuh mungkin" Ujar bunda.

Dira terlihat sedih saat gantungan kuncinya hilang. Jika kalian berkata hanya gantungan kunci saja, namun ini sangat bermakna bagi Dira.

Boneka kelinci kecil yang dijadikan gantungan tas Dira merupakan pemberian dari almarhum neneknya.

Dira saat itu berusia tujuh tahun.

Neneknya meninggal karena sakit. Saat-saat terakhir hidupnya, nenek Dira memberikan gantungan kunci tersebut yang menjadi perpisahan terakhir neneknya bagi cucu kesayangannya, Dira.

*

.
.
.
.
.

Sabtu, 18 Maret 2023

To be continue...

LibraryWhere stories live. Discover now