Page two

43 15 3
                                    


°°°

"Selamat pagi Nona, matahari sudah bersinar tinggi sekali

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.

"Selamat pagi Nona, matahari sudah bersinar tinggi sekali. Nona ingin saya sediakan apa sebagai sarapan?" tanya suara ramah penuh sopan santun, diiringi dengan langkah kaki yang berjalan ringan sebelum menarik gorden kamar dan membiarkan sinar matahari masuk. Martha membuka mata, ia tidak sadar kapan ia tertidur, yang gadis itu terakhir ingat adalah saat dirinya dan Rucardius bicara di dalam mobil.

Martha juga mengingat ketika ia menyebutkan keinginannya, keinginan yang tidak akan pernah terwujud bahkan hingga dirinya habis nyawa. Namun, Martha melupakan tentang apa yang Rucardius minta sebagai bayaran. Martha terlalu terpaku pada apa yang ada di hadapannya, pada apa yang menyambutnya di pagi hari. Ia berbaring di sebuah tempat tidur, tempat tidur luas yang bisa ditempati oleh lima sampai enam orang. Ruangan yang terasa hangat dan didominasi warna putih bercampur biru muda, atap kamarnya begitu tinggi dengan lampu hias yang lebih besar dari kepala manusia, juga berbagai dekorasi mengagumkan lainnya.

"Hei, ada di mana ini?" tanya Martha ragu, bukan apa-apa, Martha takut jika ini bukan keinginannya melainkan mimpi dan ia harus segera bangun untuk mulai bekerja. Pelayan wanita berseragam rapi itu menatap Martha bingung, seolah ia tidak paham kenapa Martha menanyakan hal demikian. "Nona? Nona mimpi buruk? Apa yang terjadi? Kepala Nona sakit? Sudah saya katakan bukan? Nona jangan tidur larut malam, Nona pasti tidur larut karena membaca novel romansa, 'kan?" selidik si pelayan sembari berjalan mendekat ke Martha. Si pelayan memasang wajah khawatir sebelum buru-buru berdiri di samping Martha dan menggenggam tangan Martha hangat. "Bagaimana kalau saya panggilkan Dokter? Nona pasti tidak enak badan, istirahat, saya akan bawa sup agar Nona bisa makan di kamar." Martha menahan senyumnya, tidur larut malam karena membaca novel romansa dan pagi harinya membuat pelayan khawatir. Persis sekali dengan apa yang ia bayangkan selama ini, persis sekali dengan apa yang ia baca di novel.

"Tidak, tidak. Aku baik ... aku hanya, sedikit mengingat mimpi burukku, aku baik ... tidak usah panggil Dokter," sanggah Martha perlahan. Kepalanya ia gelengkan dengan senyum tipis menghias wajah manis yang tidak lagi tampak noda. Si pelayan menatap Martha tidak percaya, kedua matanya menyipit dan bibirnya melengkung ke dalam. "Nona selalu saja begini, selalu menganggap semuanya ringan. Nona, kesehatan dan kenyamanan Nona adalah prioritas untuk saya, jika Nona sampai sakit apa lagi merasa sulit saya akan sangat sedih," lirihnya. Raut wajah Si pelayan terlihat lemas dengan sorot mata khawatir yang tidak dibuat-buat, membuag Martha merasa senang sekaligus ingin menangis. Tidak ada orang bahkan keluarga sedarahnya yang mengkhawatirkan Martha seperti Si pelayan. "Nona, Anne adalah pelayan Nona yang akan bersama Nona sampai kapan pun. Meski nanti Nona menikah dengan Putra mahkota, saya akan ikut Nona ke istana, saya tidak akan biarkan para pelayan istana melayani Nona sesuka mereka. Jadi, jangan khawatir."

Martha terkesiap karena Anne menyebut tentang Putra mahkota. Putra mahkota atau yang biasa disebut sebagai Pangeran yang dipilih untuk meneruskan gelar Raja. Martha kembali mengingat tentang permintaannya pada Rucardius kemarin, Martha masih ingat ia memang meminta seorang kekasih dengan status Pangeran, tetapi Martha tidak menyangka jika Pangeran yang Rucardius berikan berstatus sebagai Putra mahkota. Gadis ini terlalu naif untuk mengerti jika semua status dan hal yang ada di dunia dapat dipalsukan dengan begitu mudah. "Putra ... mahkota?" Mata Martha membulat karena rasa tidak percaya, perlahan jari-jari kurusnya menutup ke arah bibir yang tampak setengah terbuka. Anne mengangguk membenarkan ucapan Martha seolah itu adalah jawaban pastinya.

"Benar, Putra mahkota. Nona dan Putra mahkota memang sedang bertengkar akhir-akhir ini, tetapi saya yakin Putra mahkota masih sangat mencintai Nona. Mana mungkin beliau melupakan Nona begitu saja, lagi pula itu kesalahan Putra mahkota yang lebih memilih minum teh bersama Putri tetangga sebelah. Padahal sudah jelas tunangannya membutuhkan beliau, saya juga jadi kesal kalau mengingat hal itu," sungut Anne dengan kening berkerut. Martha tertawa kecil karena air muka Anne yang terus berubah-ubah, dimulai dari ceria penuh semangat, penuh khawatir dan sekarang penuh kekesalan.

"Apa Putra mahkota akan datang hari ini?" tanya Martha dengan wajah berserinya. Martha tidak lagi bisa menahan senyum, ia begitu menantikan kehadiran Pangeran yang sudah didambanya sejak dulu. "Akan datang." Anne menatap Martha dengan berapi-api. Martha tersenyum manis karena merasa puas dengan jawaban pelayannya ini. Martha menatap ke arah jendela besar yang tidak jauh dari tempat tidurnya, puluhan bahkan ratusan potong mawar merah menghias lengkap dengan aroma yang menyerbak dan begitu menyenangkan.

"Harus pakai gaun apa aku baiknya? Aku ingin jalan-jalan ke ibu kota dengan Putra mahkota," ungkap Martha setengah bertanya. Perlahan ia gerakkan kedua kakinya ke lantai, terasa dingin dan licin, lantai rumah yang tidak pernah ia injak sebelumnya. "Bagaimana kalau pakai gaun dengan warna kesukaan Putra mahkota? Putra mahkota suka sekali warna merah, gaun yang Nona pesan bulan lalu juga sudah datang dan berwarna merah, nanti akan saya tata rambut Nona secantik mungkin. Sampai-sampai Putra mahkota tidak bisa lagi melihat gadis lain!" seru Anne penuh semangat. Martha mengangguk setuju, Anne membantunya berdiri dengan hati-hati, mengantarkan Martha menuju kamar mandi yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Anne membawa Martha ke sebuah ruangan luas seluas rumah lamanya, di tengah ruangan terdapat bak mandi besar penuh kelopak mawar merah dan tiga orang pelayan wanita berdiri menunggu Martha tiba.

"Selamat pagi Nona!"

"Selamat pagi Nona, Anda yang baru bangun tidur pun tetap cantik!"

"Selamat pagi Nona, air mandinya sudah siap. Kami juga sudah menyiapkan aroma mawar kesukaan Nona." Para pelayan itu saling menyapa bergantian, wajah mereka berseri dan penuh senyuman. Martha ikut tersenyum karena suasana yang terasa seperti impian, ia melangkah perlahan dengan lara pelayan yang sudah sibuk menanggalkan pakaian tidurnya sebelum masuk ke dalam bak mandi. Hangat. Suhu air terasa hangat dan nyaman ketika menyentuh kulit ketika tubuh Martha mulai terendam, handuk lembut tebal sudah menopang punggungnya agar tidak pegal. Salah seorang pelayan kini meraih masing-masing tangan Martha, mereka menggosokkan sabun dan memijatnya perlahan, sementara satu pelayan lagi mengurus rambut. Aroma wangi bunga segera memenuhi ruangan, Martha tidak pernah menyangka jika mandi bisa semenyenangkan ini.

"Bagaimana airnya? Tidak dingin?" Martha membuka mata, Anne berada di sebelahnya untuk memastikan jika ia merasa nyaman. Martha mengangguk puas dan tersenyum, Anne memasang wajah lega sebelum duduk di ujung kaki Martha dan mulai memijat jari-jari kaki atasannya ini.
"Bagaimana pijatannya? Apa membuat Nona nyaman? Gaunnya sedang disiapkan, setelah pakai gaun, Nona harus memilih perhiasan mana yang akan dipakai. Pakai kalung Rubi pemberian Tuan besar juga bagus, warnanya pasti sangat cocok."

Martha diam, ia tidak segera menjawab Anne, ia mengingat tentang permintaannya lagi pada Rucardius, tentang perhiasan yang terbuat dari batu Rubi. Martha memejamkan matanya lagi, tidak sadar jika ia mulai bersenandung kecil hingga waktunya mandi berakhir. Martha sudah kembali ke kamar, kini ada empat pelayan wanita selain Anne siap membantunya memakai gaun dengan bahu terbuka. Gaunnya memiliki desain lengan yang tidak menutup seluruh, bagian bawah gaun dibiarkan menyentuh lantai sementara tampak depan dibuat lebih pendek. Beberapa permata terpasang di dada dan mengelilingi pinggang, lada dasar gaunnya terdapat ukiran benang berwarna emas yang menambah kesan mewah.

"Cantik."

Martha tersenyum puas. Tubuhnya ia putar ke kiri dan ke kanan, ia tatap rambutnya yang dibuat ikal dan dihias menggunakan permata. Lehernya terpasang kalung Rubi, senada dengan anting dan warna pemerah bibir yang dipakai. "Yang Mulia! Yang Mulia sungguh tidak sopan seperti ini! Yang Mulia!" Masih belum selesai memuji diri, Martha mendengar suara teriakan pelayan wanita dari arah balik pintu kamar, spontan ia menoleh ke arah pintu dan di sana tampak seorang pria berambut hitam panjang menyentuh bahu, bermata merah terang dengan bibir tipisnya yang tampak ingin mengatakan sesuatu. Pria itu buru-buru berjalan masuk dan berdiri di hadapan Martha. Si pria terlihat tidak memakai pakaian mewah; hanya kemeja putih longgar dan celana kain berwarna hitam, tetapi penampilan sederhana itu tidak membuat wajah rupawannya menurun sama sekalim

"Marry ... " panggilnya dengan suara perlahan. Martha masih berdiri, masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Marthakini bertemu dengan pangerannya.

°°°

Hex [ Book One/ Complete ]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon