Page twenty five : A Cursed Human

6 2 0
                                    

°°°

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

°°°

"Franklyn Rosevalt Daniele Lander. Anda datang lagi, senang bertemu Anda setiap hari di Gereja ini. Anda sungguh pengikut yang setia."

Seorang pria tua dengan pakaian serba putih perlahan mendatangi pria yang berpenampilan begitu rapi di barisan depan. Pria yang dipanggil hanya tersenyum manis karena sejak tadi yang ia lakukan bukanlah berdoa atau merasa tenang di sini, ia memiliki tujuan lain datang ke gereja. Ini adalah kehidupannya yang ke sekian, sudah tidak lagi ia hitung. Terakhir kali ia menghitung kehidupannya ketika ia berada dalam perang dunia kedua, dan itu sudah lama sekali. Rosevalt kembali mengingat tentang kehidupannya yang pertama: sosok yang sangat dihormati, kala itu ia adalah pemimpin tinggi sebuah gereja besar yang ada di Ibu Kota. Ia hidup di jaman para makhluk pengisap darah, makhluk Serigala dan para penyihir masih ada.

Dalam kehidupan pertama, Rosevalt menghasud banyak manusia lainnya untuk memburu para manusia Serigala dan para penyihir tidak bersalah untuk dimusnahkan. Rosevalt sendiri tergolong pria yang cerdas, karena kecerdasan dan kecakapannya membuat orang-orang di sekitar menjadi sangat percaya pada setiap kata-kata yang ia lontarkan, terlebih lagi ia pandai memainkan kata, pandai mengatur lidah dan mengendalikan ekspresi wajah. Mempengaruhi pikiran dan hati seseorang terbilang mudah untuknya, dan hal itu membuatnya merasa senang.

Sesekali dalam hati ia bertanya-tanya, apa yang membuatnya melakukan hal itu sampai ia harus dikutuk karena dianggap terlalu buruk. Lalu Rosevalt mengingat lagi: ia merasa bosan. Tanpa suara ia tertawa perlahan. Rosevalt tidak pernah menyesal melakukan apa-apa dalam kehidupannya, ia hanya merasa muak dengan dunia yang menghukumnya terlalu berlebihan. Menurutnya ada banyak manusia lain yang melakukan hal lebih keji dan lebih buruk dibanding dirinya. Rosevalt merasa dirinya hanya tengah melindungi rakyat tercinta agar tidak ada ancaman yang dapat terjadi di kemudian hari, sayang sekali para petinggi langit tidak memahami maksud dan tujuannya.
Rosevalt menatap pada pria tua yang ada di hadapannya.


"Bapa, saya tidak pernah melewatkan waktu untuk datang ke sini. Apakah Bapa merasa bosan melihat wajah saya? Jika iya, harap Bapa menahan rasa bosan itu karena saya belum ingin berhenti untuk datang." Pria itu tertawa dengan suara beratnya, tubuhnya ikut bergoyang karena kegembiraan yang ia rasa.

"Hahaha. Rosevalt anakku, mana mungkin pelayan Tuhan seperti kami merasa bosan dengan kehadiranmu? Aku merasa senang karena anak muda sepertimu masih mengingat berkunjung ke rumah Tuhan dan menyapanya setiap hari. Aku berharap nantinya akan banyak lagi para pemuda-pemuda di lain hari. Sungguh suatu kesenangan untukku, sungguh suatu kegembiraan. Tuhan pengasih yang mampu membuka mata siapa saja, sungguh luar biasa." Pria itu mengusap perlahan kepala Rosevalt dengan senyum lebarnya. Rosevalt ikut tersenyum, andai saja pria tua ini tahu jika bukanlah hal itu yang membuat Rosevalt datang setiap hari, melainkan seorang gadis yang mendaftarkan dirinya menjadi salah satu biarawati di sini yang jadi alasannya datang. Rosevalt tersenyum manis hingga para tamu gereja melihat kenyamanan di antara Bapa dan pemuda yang baru menginjak usia sembilan belas tersebut dalam kehidupannya.

Rosevalt melirik pada seorang wanita dengan helai rambut berwarna Emerald panjang dan sedikit mengombak, tubuh sintalnya dibalut pakaian panjang yang sedikit longgar berwarna putih bersih tanpa noda, tanpa corak. Rambutnya diikat rapi, wajahnya tidak dipulas perias wajah, tidak juga pemerah bibir, hanya dibiarkan begitu saja; apa adanya. Dan wanita itu masih terlihat begitu cantik.
"Baiklah, baiklah. Nikmatilah waktumu di sini anakku, aku harus menyapa tamu-tamu yang lain." Pria tua yang dianggap agung itu tersenyum, menepuk pundak Rosevalt lalu pergi meninggalkannya. Rosevalt hanya mengangguk perlahan tanpa menjawab.

Rosevalt melangkah lambat meninggalkan ruangan tersebut menuju taman belakang yang masih terletak di gereja. Pria itu melangkah dengan perlahan, tidak terburu dan teratur, dalam setiap langkahnya Rosevalt memikirkan semua hal yang mungkin saja terjadi seperti penolakan atau bahkan mungkin tamparan keras yang akan mendarat di wajahnya. Rosevalt terkikik samar, ia merasa dua hal itu sangat kecil untuk terjadi, karena ia tahu jika wanita yang akan ia temui adalah salah satu wanita yang pernah menyenangi gemerlapnya dunia. "Halo, kita bertemu lagi." Rosevalt menatap gadis yang tengah menyapu halaman belakang, wajah Si gadis tampak terkejut dengan kedatangan Rosevalt yang tiba-tiba. Ia menggenggam erat sapunya dan berbalik menatap Rosevalt yang kini sudah duduk di bangku taman tanpa disuruh.


"Halo, Anda datang lagi. Apakah sudah selesai acaranya? Atau Anda keluar lebih cepat?" Si gadis bergumam perlahan sembari menatap ke arah langit yang sudah mulai menggelap karena tugas Sang Matahari hampir usai dan kini Sang Rembulan yang akan menggantikannya. Rosevalt mengangguk karena pertanyaan gadis di hadapannya, tatapan matanya tidak beralih, menatap lurus gadis seolah tengah memerhatikan setiap gerak-gerik manusia di hadapannya, seolah saat ini gadis di hadapannya adalah objek yang sangat menyenangkan untuk diperhatikan.

"Ah, begitu? Benar, hari sudah akan gelap. Acara tidak akan berjalan selama itu, apa Anda belum mau pulang Tuanku? Anda akan kesulitan jika pulang terlalu larut." Si gadis masih berusaha bicara dengan tenang, meski kini detak jantungnya berdebar cepat sekali. Bagaimana tidak? Seorang pria dengan wajah yang begitu rupawan, dan perilaku yang menyenangkan kini sedang memerhatikannya tanpa teralih. Rosevalt adalah sosok pemuda yang sering dibicarakan para gadis, sebelum memutuskan untuk masuk gereja, ia pun sering mendengar tentang kabar burung seorang pria yang baru pindah ke kota. Seorang pria muda yang tinggal sendirian dan kabarnya punya banyak sekali uang, tidak ada yang pernah melihatnya bekerja tetapi pemuda itu tinggal di sebuah kastel yang sangat besar dan memiliki barang mewah lainnya. Dan pemuda yang sering digosipkan itu ada di hadapannya.

"Saya belum ingin pulang. Saya tengah merasa bersalah atas apa yang terjadi pada kawan saya, dan itu membuat saya merasa buruk." Rosevalt perlahan menyalakan rokoknya, mengalihkan pandangan dan menghisap batang yang baru saja ia bakar itu dengan gerakan cepat membuat helai rambut hitam yang tampak seperti dicat dengan tinta paling mahal itu bergerak mengikuti. Si gadis tertegun karena apa yang Rosevalt katakan, lalu ia teringat pada masa lalunya, pada saat di mana ia juga merasa begitu bersalah. Si gadis memberanikan diri untuk duduk di samping Rosevalt, menatap sepasang bola mata berwarna gelap yang terlihat begitu misterius seolah menyimpan banyak sekali rahasia di dalamnya dengan tatapan lurus dan tersenyum kecil. Si gadis berusaha tengah menghibur Rosevalt.

"Saya juga sempat merasakan hal itu sebelumnya Tuanku, perasaan bersalah karena salah mengambil keputusan. Saat itu saya juga sangat terpuruk dan sangat merasa buruk dengan apa yang terjadi, terutama ketika saya mendengar, ketika saya mendengar orang itu tewas bunuh diri karena apa yang saya lakukan dan tuduhkan. Namun, Bapa bilang itu adalah kesalahan di masa lalu dan Tuhan pasti memaafkan saya jika saya berjanji untuk tidak mengulanginya dan tidak melakukan hal-hal yang tidak berguna. Karena itu saya memutuskan keluar dari pihak keamanan dan masuk gereja. Saya, saya merasa sangat kotor, mimpi buruk terus mendatangi saya setiap malam dan saya tidak dapat melupakan wajah anak itu." Lhareta menundukkan kepalanya, kedua tangannya ia genggam dengan erat karena harus kembali mengingat tentang masa lalu. Rosevalt menyeringai lebar ketika mendengar cerita si Gadis, tentu Rosevalt lebih dari pada tahu apa yang sebenarnya terjadi. Karena hal itu jadi satu-satunya alasan yang membuatnya tertarik dan memutuskan untuk datang ke gereja ini.


"Saya tahu. Anda adalah mantan Detektif ternama Ibu Kota bukan? Saat itu Anda tengah menyelidiki satu kasus pembunuhan yang tragis, di mana korbannya adalah seorang wanita pelajar. Dan Anda menuduhkan seorang pria sebagai pelaku utamanya, Anda merasa jika pria itu adalah pelakunya, Anda begitu percaya pada diri Anda sendiri hingga tidak mau mendengar pendapat orang lain. Meski terdakwa mati-matian berkata ia tidak melakukannya dan bersumpah ia telah jujur, Anda malah menuduhnya berbohong dan merasa akan bebas karena pria itu adalah putra dari seorang petinggi Polisi. Benar bukan? Lalu pada akhirnya, pria yang dituduhkan gantung diri di dalam ruang tahanan karena terus menerus Anda tekan untuk mengaku dan merasa mempermalukan nama baik Ayahnya. Setelah beberapa hari dari kejadian itu, Anda sadar jika Anda salah, jika pelakunya bukan pria itu. Dan Anda memutuskan untuk lari." Rosevalt menatap Lhareta dengan senyum lebarnya, senyum yang membuat Lhareta bergeming dengan wajah termangu.

°°°

Hex [ Book One/ Complete ]Where stories live. Discover now