Page three

29 13 5
                                    


#for better experience, please play the song first#

°°°

°°°

Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.



"Yang Mulia!"

Anne menatap kaget pemuda yang datang dengan setengah menjerit, mulutnya buru-buru ia tutup dengan tangan dan tanpa sadar ia melangkah mundur. "Adalah hal yang tidak sopan juga tidak dibenarkan bagi seorang pria bangsawan masuk ke kamar wanita terhormat sebelum menjadi suami istri atau bertunangan."

"Ah ... maaf." Si pria menepuk keningnya sendiri sebelum mngembuskan napas penuh rasa penyesalan, menatap ke arah para pelayan wanita yang mengelilingi Martha dengan tatapan sulit. "Aku buru-buru, dan aku harap kalian menutup mata kali ini. Satu hal lagi, bisakah aku dan Martha bicara berdua?" tanya si pangeran sebelum memandang Martha lekat-lekat. Anne mengerutkan kening, pelayan wanita itu membungkukkan badannya dalam-dalam sebagai itikad penyesalan. "Maafkan hamba Yang Mulia, tetapi Nona Martha... "

"Tidak apa-apa Anne, tidak apa-apa, aku akan bicara dengannya. Tinggalkan kami," jawab Martha memotong ucapan Anne, sementara Si pelayan wanita hanya menatap Martha dengan wajah tidak rela. Namun, tidak ada hal lain yang bisa si pelayan ini lakukan kecuali mengangguk, membungkukkan badannya lalu berjalan keluar meninggalkan dua orang tersebut dalam kamar.

"Marry, aku ... aku tahu aku salah. Aku benar-benar menyesal karena apa yang terjadi kemarin, aku minta maaf."
Pria dengan helai rambut hitam legam itu menundukkan wajah, seolah terlalu merasa bersalah untuk menatap Martha. Martha menahan senyum, dirinya terlalu bahagia untuk berpura-pura marah. Pangeran yang Rucardius siapkan untuknya tidak mengecewakan, bahkan jauh dari apa yang Martha bayangkan. Pemuda di hadapannya ini seolah-olah keluar dari buku cerita fantasi.

"Aku tidak marah lagi, tetapi hari ini bisakah temani aku seharian?" Pemuda yang tengah menunduk tersebut spontan mendongak dengan senyum yang mengembang, ia buru-buru mendekati Martha untuk menggenggam tangan Martha erat. Bola mata merahnya menatap Si gadis tanpa teralih pada apapun, hingga Martha merasa jika ia gadis paling cantik di dunia seperti keinginannya. "Sungguh? Aku harap kau tidak mengelabuiku. Aku akan ... menangis jika aku tahu kau masih menahan marah padaku, dan berencana membalas. Aku janji dengan segenap hati, aku akan temani kau seharian, akan ke mana kita? Ibu kota? Aku setuju, atau kau mau lihat gaun baru yang akan kau pakai untuk pesta malam nanti?" tanya si pangeran buru-buru.

Martha tertawa kecil.
"Aku mau jalan-jalan saja, aku sudah ada gaun untuk nanti malam. Anne menyiapkannya untukku, Yang Mulia ... " ucapan Martha terhenti mendadak karena pangeran yang menutup mulut Margareth. Pangeran yang belum diketahui namanya ini mengerutkan kening dan memasang air muka tidak senang.

"Yang Mulia?" tanya Si pria dengan nada menekan pada Martha. Martha hanya diam kebingungan. "Aku tahu kau masih marah." Pemuda itu mengembuskan napas kasar, melepaskan tangannya dan mengalihkan wajah dari Martha. "Kau tidak akan panggil aku Yang Mulia kecuali kau sedang marah, biasanya kau memanggilku Dominique tanpa peduli pada sekitarmu. Aku harap kau tidak lupa kenapa aku bisa jatuh hati padamu," gerutu Dommi tanpa menatap.

Martha mengerjapkan matanya perlahan. Namanya Domminique? Batin Martha sembari menahan senyum.

"Aku tidak marah lagi. Aku hanya menggodamu beberapa saat lalu, kau kesal?" goda Martha. Dommi segera menoleh dengan bersungut kecil sebelum akhirnya ikut tertawa dan memeluk tubuh Martha hangat. "Aku mencintaimu. Bersabarlah denganku, aku mohon. Aku ingin mimpiku untuk hidup bersamamu terwujud," bisik Domminique lembut di telinga Martha. Wajah Martha memerah, dirinya bahkan tidak berani bermimpi untuk dicintai dan menikah dengan pemuda setampan Domminique. Martha mengangguk, terlalu malu untuk menjawab dengan kata. Perlahan Dommi melepaskan pelukannya, mata merah terang itu menatap Martha lagi sebelum jari-jarinya bergerak lambat mengusap wajah Martha.

"Cantik. Cantik sekali." Semburat merah di wajah Martha semakin bertambah, bahkan saat ini Martha merasa panas di sekujur tubuhnya.
"Hentikan." Martha mengalihkan pandangan, ia menarik napasnya perlahan agar tetap tenang. Bagaimana jika ia benar-benar jatuh hati pada Dommimique pikirnya. Dan pikiran kecil itu membuat rasa serakahnya membesar tanpa Martha sadari. Dommi terkikik karena reaksi yang Martha berikan, tangannya masih berada dekat di wajah Martha. "Aku mencintaimu," bisiknya lagi. Martha hanya tersenyum, ia terlalu malu untuk menjawab.

Membiarkan keduanya saling berpegangan dan menikmati hening waktu hingga lupa pada kenyataan. Tawa renyah dan senyuman lebar selalu menghias wajah Martha, seolah ia lupa bagaimana cara untuk bersedih, seolah ia lupa bagaimana cara untuk menangis. Martha dan pangerannya menghabiskan waktu seharian di ibu kota sebelum mendatangi acara pesta dansa. Keduanya menari hingga kaki tidak lagi terasa menapak tanah, Domminique membuat Martha kepayang, mengantar gadis manis itu pada impian dan surganya meski hanya sekilas.

Kini kenyataan menghadap, dinding impian sudah hancur. Senyum dan sikap sempurna para pemain sudah luntur, Martha adalah Cinderella yang kehilangan sihir dan ditipu ibu peri.

"Apa kau menikmati waktumu Tuan Putri?"

Rucardius mendongak menatap Martha dengan senyum manis pada wajahnya, satu tangannya menopang wajah dan tangan lainnya ia biarkan mengetuk-ngetuk meja menunggu jawaban. Domminique berdiri di samping Rucardius, masih dengan wajah rupawan dan senyum memikatnya, juga Anne, pelayan yang tadinya begitu peduli pada Martha sekarang terlihat menatapnya dengan dingin.
"Sangat." Martha kehabisan kata, ia begitu takut untuk kembali pada kenyataan, ia bisa merasakan ngeri ketika membayangkan harus kembali rumah dan bergelut dengan pekerjaan lamanya. Martha berlutut di hadapan Rucardius, kedua tangannya memegangi kaki Si pria erat-erat.

"Bagaimana ... bagaimana caranya agar aku bisa melanjutkan kehidupanku? Aku tidak mau kembali ... aku tidak mau pulang! Aku harus hidup seperti seorang Putri, aku akan menikah dengan Pangeranku dan kami akan bahagia!" teriak Martha. Kedua matanya menatap Rucardius penuh rasa takut dan tamak, ketika sudah menjilat madu maka tak akan ingin untuk kembali pada empedu.

"Regula unu, fiecare client poate cere doar o singură cerere."

Senyuman Rucardius melebar, bersamaan dengan cekikik tawa dari arah samping keduanya. Dommimique melirik singkat Martha, sepasang mata merahnya semakin menyala di bawah sinar lampu.
"Sudah aku bilang, kehadiranku terlalu banyak untuknya. Harusnya jangan aku yang jadi Pangeran untuk gadis ini. Mau bagaimana lagi? Sekarang tugasku selesai, sampai jumpa Rucardius, aku menunggu bayaranku." Domminique melambaikan tangannya beriringan dengan peran Anne yang berjalan meninggalkan Martha, sedikit juga keduanya tidak menoleh menunjukkan kesan tidak peduli yang nyata. Air mata tidak lagi Martha dapat tahan, mengalir deras dengan jantungnya yang berdebar kencang. Ia lupa pada apa yang harus ia bayar, ia lupa jika ia harus membayar.

"Saatnya pembayaran," Rucardius berbisik pelan di telinga Martha. Perlahan, Martha dapat merasakan aura dingin pada sekujur tubuh dan berakhir dengan kesulitan untuk bernapas. Rasa sakit yang tubuhnya alami tidak dapat dijelaskan dengan kata, ia bahkan tidak mampu untuk berteriak, tenggorokannya tercekat seperti dicekik oleh dua tangan raksasa. Sebelum kehilangan sadar, Martha dapat mendengar suara tawa melengking dan pantulan bayangan Rucardius dengan sepasang tanduk dan sayap hitam lebar di punggungnya.

°°°

Hex [ Book One/ Complete ]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz