Bel istirahat telah berbunyi bermenit-menit yang lalu. Sejujurnya Sea-Hwa sangat malas sekali untuk pergi ke kantin. Pasti akan ada drama lagi jika ia pergi ke kantin, mengingat Diandra dan gengnya itu begitu iri padanya.
"Ga laper apa?" tanya Aerin.
"Laper." singkat Sea-Hwa.
"Ga ada niatan mau ke kantin?" tanya Aerin sambil menatap ke arah Sea-Hwa dan Hyun Dae.
"Males, gue lagi ga mood buat ribut di kantin nanti." balas Sea-Hwa sambil menelungkupkan kepalanya di lipatan tangannya.
"Ya udah gue aja yang beli, lo tunggu di sini, nanti kita makan di kelas aja, gimana?" tawar Aerin.
Tanpa menjawab Sea-Hwa merogoh saku seragamnya dan mengeluarkan selembar uang berwarna biru pada Aerin. "Tadi pagi gue liat ada yang makan mie ayam, kayanya enak. Beli itu satu."
"Gue juga nitip dong, males jalan hehe." Hyun Dae ikut mengeluarkan uang dari saku seragamnya dan memberikannya pada Aerin.
Aerin memutar bola matanya malas, "Lo mau apa?"
"Samain aja kaya Sea-Hwa."
"Ya udah gue beli dulu." setelah mengatakan itu Aerin melenggang pergi ke kantin seorang diri.
Sepanjang koridor sekolah dirinya menjadi pusat perhatian, menyebalkan sekali setiap langkahnya harus di tatap oleh puluhan pasang mata.
Karena tak menatap jalan di depan dengan benar, Aerin harus menabrak sesuatu, bukan, bukan sesuatu melainkan seseorang. Dia mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa orang yang dirinya tabrak.
Mata elang itu menatapnya dengan datar, tanpa ekspresi dan menyorotinya dengan dalam.
"Lo temen si Dean itu kan?!" todong Aerin dengan nada kesal.
Samudra yang di tanyai oleh gadis di depannya ini hanya diam, kemudian menatap lurus ke arah depan.
"Woy jawab gue lagi nanya-"
"Pergi." ujar Samudra dengan tajam.
"Apa? Berani lo ngatur-ngatur gue ha? Emangnya lo siapa-"
Samudra langsung menarik lengan Aerin menjauh dari koridor sekolah yang sangat penuh dengan siswa-siswi itu. Membawanya menuju ke tempat tersepi di sekolah ini.
"Lepas sialan! Berani lo sama gue?!" tantang Aerin dengan emosi yang membuncah.
Karena tak kunjung mendapat jawaban, Aerin memilih untuk segera pergi dari sini meninggalkan laki-laki itu. Namun baru dua langkah, lengannya di tarik hingga tubuhnya menubruk dada laki-laki itu dengan lumayan keras.
YOU ARE READING
Amērta.
Teen FictionSetiap detik yang berjalan, menjadi saksi bisu betapa menderitanya dua insan yang tak dapat bersatu bagai arunika. Sebutir harapan pada kerinduan yang melekat oleh waktu, nelangsanya, dua daksa itu bahkan tak dapat hanya untuk menikmati senja bersam...