13. Wolf Pack

472 97 81
                                    

Fast UP, nih! Ramein di kolom komen, yaaa!

♥️🖤♥️

Mendengar itu, ketiga gadis lainnya sontak menahan tawa.

"First, we can't be friends because if we are, which is impossible, lo pasti tau kalo gue... nggak berteman," kata Kenzo. Tenang saja, tapi cukup memukul Lucy meskipun seharusnya Lucy tidak perlu tersinggung jika dia mengenal Kenzo.

Dan ya, Lucy tahu. Psikopat tidak berteman. Yang mereka punya jika bukan pengikut, maka pesuruh.

"Second, do you know I earn money with my autograph, right?" tanya Kenzo. Angkuh. Tipikal Kenzo. Walaupun ucapannya nyata, sih. "Kenapa gue mau kasih tanda tangan gue tanpa lo bayar gue?"

Lucy menelan ludah. Benar juga. Satu tanda tangan Kenzo bernilai puluhan juta, miliaran jika itu menyangkut proyek perusahaan keluarganya.

"Geser kalo gitu," kata Esme.

Dengan wajah sedih, Lucy terpaksa mundur. Kini tempatnya berdiri digantikan Esme.

"Nih, Kenzo," kata Esme sembari mengulurkan paper bag. "Kamu nggak perlu ngapa-ngapain. Cukup terima ini aja. Maybe someday kita bisa pake couple-an."

"Tapi, kita bukan couple," kata Kenzo membuat Esme terdiam. "Dan gue nggak suka pake outfit samaan sama orang lain."

Ah! Quinzel mengangguk sendiri.

Kenzo ini punya satu ruangan khusus untuk pakaian-pakaian bekasnya yang masih sangat, sangat bagus. Kenapa? Karena hampir semua pakaiannya hanya dia pakai sekali, terutama yang dia kenakan ke luar untuk acara tertentu.

Kenzo hampir tak pernah mengenakan pakaian yang sama dua kali. Tidak pernah! Selain karena bosan, dia juga tidak mau berpenampilan sama dengan orang lain.

Dan berhubung Kenzo ini model, tentu pakaian dan gayanya sering kali ditiru. Sekali dia memakai sesuatu, orang-orang akan mengikutinya layaknya dia trendsetter. Dia tidak mau kedapatan mengenakan pakaian yang sama dengan orang lain di satu waktu yang tak terprediksi. Jadi, untuk amannya, dia selalu tampil dengan pakaian baru yang tak pernah dia pakai sebelumnya.

Sisa bajunya? Cukup dijadikan koleksi di ruangan itu.

Dan seperti yang lainnya, Esme tampaknya tak cukup tahu tentang Kenzo. Makanya begitu mendengar ucapan Kenzo, Esme tertunduk lemas. Pupus sudah harapannya.

"Kenzo...," sapa Misya begitu Esme bergeser dari hadapan Kenzo.

"Lo pernah bikin minuman sebelumnya?" tanya Kenzo.

Misya menggeleng. "Itu poinnya, kan? Aku belajar untuk kamu."

"Dari mana lo tau yang pertama nggak gagal?"

Misya masih dengan percaya dirinya berkata, "Kupikir bukan rasa yang dicari, tapi bahan-bahannya yang premium didatangkan langsung dari luar negeri." Misya lalu tersenyum. "Dan usahaku pastinya."

Bibir Kenzo menarik seringai miring. "I travel a lot. Kalo cuma bahan premium dari luar, gue bisa dapetin kapan pun gue mau. Usaha kalo bukan terbaik, apa pentingnya?"

Misya terpekur.

"Gue bukan kelinci percobaan buat dicobain sesuatu yang gue nggak tau kualitas rasanya kayak apa."

Bibir Misya yang tadinya melengkung ke atas serta-merta turun ke bawah, berbanding terbalik dengan Tania yang menggesernya dengan senyuman lebar. Sebelum Kenzo membuka suara, Tania sudah lebih dulu berkata, "Don't worry. Chef-ku terbaik di hotel keluargaku. Ini lobster terenak di hotel kami. Nggak ada alasan buat kamu bisa nolak."

A Living Hell: Déville's ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang