4. Memory

358 65 86
                                    

Aku harap. Masa laluku yang buruk, masa sekarang ku yang pelik, akan berubah menjadi masa depan ku yang cantik.

_Qing.

_Qing

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

4. Memory

“Dokter, ada yang berbeda dengan Qing!” Aditya merasa khawatir, saat dihadapkan pada putranya yang terus menanyakan sosok perempuan di belakangnya. Padahal tidak ada siapapun di sana.

Aditya langsung mengunjungi dokter, ingin pihak rumah sakit melakukan beberapa tes lagi pada Qing. Aditya takut, ada sesuatu yang terlewatkan dalam pemeriksaan.

“Tenang Pak, mungkin ini hanya efek halusinasi saja. Sejauh ini, kondisi pasien tidak menunjukan adanya gejala berbahaya.”

Walaupun sudah menjabat penjelasan, Aditya tetap tidak bisa tenang. Sekarang yang dia miliki hanya Qing, dia tidak ingin terjadi sesuatu kepada putranya.

Setelah mendapatkan cukup ketenangan, Aditya memilih duduk di luar ruangan Qing. Dia melihat ponselnya, ternyata sudah pukul 03:02. Aditya menutup wajah dengan telapak tangannya, segalanya masih belum bisa dia terima.

Ponsel di saku celana Aditya bergetar, dia lihat dan menemukan nama sang anak sulung di sana. “Semuanya baik-baik saja, kamu tidak perlu khawatir.”

“Dewa mimpi Qing sudah siuman,” kata Dewa dari sebrang sana.

“Intuisi kalian memang kuat, seperti saudara kembar.” Aditya terkekeh, sejak kecil Dewa dan Qing selalu bisa saling merasakan satu sama lain. “Berkat doa kita semua, Qing sudah sadar.”

Walaupun sang ayah tidak bisa melihatnya, Dewa tetap tersenyum. “Dewa minta maaf karena gak bisa pulang.” Suara dewa terdengar menyesal.

Selain karena tidak ingin meninggalkan studinya, dewa juga belum bisa bertemu sang ibu. Vanita mungkin tidak akan begitu memperhatikan Dewa, tapi justru itulah yang menjadi ketakutannya. Dewa takut akan kembali melihat tatapan benci yang Vanita beritakan, dia belum siap menerimanya.

Sama hal nya seperti Dewa, Aditya pun tersenyum. “Tidak masalah, Qing dan ayah selalu mengerti keadaan kamu. Berapapun waktu yang kamu butuhkan, ayah tidak masalah.”

Jika lama terdiam, Aditya tahu putranya sedang menahan tangis. Ini adalah pembahasan yang bisa membuat keluarganya lemah, Aditya tahu itu. “Sudah, jangan menangis!”

“Dewa gak nangis!”

“Loh, bukan buat kamu, buat Ayah sendiri!” Tawa Aditya menular, terbukti dari tawa samar yang terdengar dari sebrang sana. “Istirahatlah, di sana pasti baru jam 8.”

“Ayah juga. Jangan langsung bersiap, masih banyak waktu.” Dewa tahu jika Aditya terbangun di jam rawan, dia selalu tidak tidur lagi. Dia akan memilih bersiap lebih awal, lalu mengerjakan pekerjaan yang sekiranya bisa dia lakukan.

CAKSUSRAWA Where stories live. Discover now