13. The Hiccup

284 53 69
                                    

“Ingin memenangkan hatinya? Maka usap kepalanya.”

𝚅𝚘𝚝𝚎 + 𝚔𝚘𝚖𝚎𝚗 𝚍𝚞𝚕𝚞 𝚢𝚊!シ︎

Happy reading

13. The Hiccup

Dengan tongkat sebagai tumpuannya, Daiva menatap Drisa penuh permusuhan. Dendamnya pada perempuan itu semakin meluap-luap. Beberapa kali Daiva Bahkan berusaha menyerang Drisa.

“Udah lah Tai, kan Drisa nya udah minta maaf.” Kavi mencoba menengahi. Melihat keduanya bertengkar memang menghibur, tapi jika kelamaan bisa membuat otak pening.

“Tau, pendendam amat jadi orang.” Drisa memang meminta maaf dengan tulus, tapi Daiva yang tidak ikhlas memaafkannya.

“Pendendam? Coba lo rasain ada orang aneh lempar hp lo, terus bikin lo jatoh dari tangga. Gimana rasanya?”

“Lo yang mulai, ngapain nuker-nuker hp orang?!” balas Drisa.

Katanya perempuan memang tidak suka mengalah. Daiva terkekeh. “Cewek kalo ngeles tandanya emang salah!”

“Lo ngomong apa?!”

Saat Drisa akan menerjang Daiva, Inka dengan sigap menahannya. Daiva sudah terluka, setelah ini bisa saja sahabatnya yang akan terluka. Namun kekuatan Inka tidak sebanding, sampai Harjun yang harus turun tangan. Harjun harus segera mengamankan Drisa, sebelum semuanya semakin parah.

Dari sebuah lorong, Harsa melihatnya. Dia ikuti kemana kembarannya akan membawa Drisa. Ada rasa iri dalam hatinya, andai dia masih ada di dunia yang sama seperti mereka.

“Lepas!” Drisa menyentak tangan Harjun, ketika keduanya sampai di parkiran.

“Balik sama gue!” Harjun kembali menarik tangan perempuan itu.

“Gue gak mau!” Drisa berniat pergi, tapi Harjun berhasil melemahkan nya. Laki-laki itu memegang perintah dari ibunya, yang mana Drisa tidak bisa menolaknya.

Harsa, dia berdiri di samping Drisa dan Harjun. Namun sedekat apapun dia dengan mereka, kehadirannya tidak akan pernah diketahui. Harsa menyayangkan itu. Getaran kuat dalam dirinya, tidak bisa menembus batas dunia mereka. Sekeras apapun teriakannya, sampai kapanpun tidak akan ada yang mendengarnya.

“Gue di sini, Di.”

_𝑪𝒂𝒌𝒔𝒖𝒔𝒓𝒂𝒘𝒂_

Shafana menuruni tangga dengan hati riang gembira. Bagaimana tidak, tadi sore sepulang dari rumah sakit, Qing mau mengantarkannya. Hal yang selalu ingin dia lakukan bersama Qing, akhirnya bisa terlaksana.

Elina yang sedang menata makanan ikut tersenyum, jarang-jarang dia melihat putrinya begitu bahagia. Diam-diam Elina menyenggol lengan suaminya, dengan dagu menunjuk Shafana.

Yoga tersenyum tipis, matanya mengawasi Shafana yang kini duduk di sampingnya. “Terjadi sesuatu yang baik?”

Shafana tatap kedua orangtuanya bergantian. Sepertinya karena terlalu senang, dia melupakan mereka. Shafana jadi malu. “Enggak ada.”

“Kamu kalo bohong suka pegang telinga,” kata Elina. Dan benar saja, putrinya itu sontak memegangi telinganya. Hal itu memicu tawa kedua paruh baya itu.

“Ma, Pa!” Shafana berusaha menampilkan ekspresi marah, padahal dia malu setengah mati.

“Iya-iya. Bukan kamu yang mendapatkan hal baik, tapi kami,” lerai Yoga.

CAKSUSRAWA Kde žijí příběhy. Začni objevovat