9. Ucing sumput

254 59 78
                                    

"Jangan melihat caranya, tapi niatnya!"

Happy reading

𝚅𝚘𝚝𝚎 + 𝚔𝚘𝚖𝚎𝚗 𝚍𝚞𝚕𝚞 𝚢𝚊!シ︎

9. Ucing sumput

Dengan menempuh waktu sekitar 4 jam, akhirnya perjalanan itu berakhir. Mobil angkot yang Daiva kendarai, berhenti di depan sebuah rumah yang menghadap langsung pada pesawahan kering.

Rumah sederhana yang masih berdindingkan anyaman bambu, cukup terpencil dari rumah-rumah yang lainnya. Sekelilingnya di pagari semak-semak, serta ada beberapa pohon juga.

Mereka yang keluar dari mobil meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Terdengar bunyi renyah, lalu rasa lega yang menjalar ke seluruh tubuh. Udara sejuk, cuaca cerah, sangat menenangkan setelah perjalanan panjang.

"Akhirnya nyampe juga!" ucap Taro girang.

"Ini yang gue suka dari desa." Kavi menjatuhkan ranselnya. "Udaranya seger banget, jauh dari polusi."

"Makanya gue ngajakin kalian." Daiva datang merangkul kedua sahabatnya.

Ini adalah kampung halaman ayahnya Daiva, sebuah pedesaan di pinggir kota Bandung. Karena kesibukan orang tua, Daiva menghabiskan sebagian waktu liburannya di tempat ini. Banyak kenangan yang telah dia torehkan, dia juga punya beberapa teman di desa ini.

Kemarin, Danang-kakek Daiva-memintanya untuk datang. Katanya beliau rindu. Wajar saja, libur semester kemarin Daiva tidak datang, karena berlibur bersama anggota Redfox. Setelah Lestari-istri Danang-meninggal, beliau memang tinggal sendiri.

Arif-ayah Daiva-adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Kedua saudara Arif juga sudah menikah dan memilih merantau ke kota, mereka hanya berkumpul saat acara-acara tertentu saja.

"Budak belegug!"

Daiva meringis sambil memegangi bahu kanannya, saat merasakan sebuah tongkat memukulnya. Suara umpatan yang mengatainya 'anak nakal,' juga terdengar. "Abah!" rengek Daiva.

"Naon Abah, Abah?!" Danang bersiap memukul cucunya lagi, tapi Daiva berhasil menghindar di balik punggung Taro dan Kavi. Walaupun usianya sudah nyaris 70 tahun, tapi Danang masih terlihat enerjik.

Bukan hanya Daiva yang ketakutan, bahkan Shafana harus merapat pada Qing. Melihat itu, Queen yang berdiri sebaris dengan Drisa dan Inka, berdecak malas. Dimatanya, Shafana terlihat seperti perempuan nakal, yang memang sengaja mencari perhatian.

Sama seperti tingkahnya ketika berhadapan dengan nenek mereka, atau lebih tepatnya ibu dari Yoga. Shafana adalah cucu kesayangan. Wajar saja, perempuan itu memang cucu kandungnya, sedangkan Queen hanya anak dari wanita yang telah menyakiti putranya.

Sejak diperkenalkan pada Nurmala-nenek Shafana-Queen tidak pernah diterima. Saat kecil Queen tidak tahu alasan Nurmala tidak menyukainya, tapi sekarang dia paham. Jika tahu sejak awal, Queen tidak akan pernah mengemis kasih sayang.

Perhatian Queen kembali terfokus pada Daiva yang kini sedang dikejar oleh kakeknya. Tidak seperti mereka yang tertawa, Queen hanya memandangnya datar. "Kekanakan," cela nya.

_𝑪𝒂𝒌𝒔𝒖𝒔𝒓𝒂𝒘𝒂_

"Minyak kayu putih, di gosok di badan, bendera merah putih tandanya menang, satu, dua, tiga, salah satu keluar!"

Daiva menyanyikan sebuah lagu, sebelum permainan petak umpet dimulai. Daiva menunjuk teman-temannya yang berdiri melingkar, jarinya menunjuk mereka searah jarum jam. Ketika kata 'keluar' terucap, jari Daiva menunjuk Inka, itu artinya perempuan itu terbebas.

CAKSUSRAWA Where stories live. Discover now