Bagian 13.

61 12 1
                                    

"Goresan yang pedih kita jadikan pembelajaran, goresan terindah kita pertahankan, goresan buruk kita tinggalkan dan goresan baik kita kembangkan."
.
.
.
.
.

Setelah bersiap menggunakan abaya dan khimar, juga sedikit bedak yang membuat Annora tampil elegan. Zahra mencubit sedikit pipi Annora seraya tersenyum. Annora menunduk malu karena hal itu.

"Maa syaa Allah, kamu cantik sayang," ucap Zahra.

"Sayang ga tuh," celetuk Annora terkekeh geli.

"Udah ayo temui tamunya, kira-kira siapa, ya," goda Zahra.

Seketika wajah Ravindra terlintas di benak Annora, tanpa disengaja Annora mengukir seulas senyum yang sangat tulus juga ikhlas dari hati kecilnya.

"Pasti keingat Ravin-"

"Ssst," potong Annora yang tersipu malu.

Zahra pun hanya tertawa seraya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat wajah lucu Annora ketika mengingat Ravindra.

Mereka berjalan keluar dari kamar dan menuju ke ruang tamu, langkah demi langkah mereka lalui hingga tibalah mereka di hadapan seorang pemuda yang sedang duduk bersama kedua orangtuanya juga ada Khadijah di sana.

Zahra terpaku melihat pemuda itu, seketika waktu berhenti dan badannya terasa sangat kaku. Lain halnya dengan Annora, dia hanya diam dan beralih menatap Zahra.

"Ayo nak duduk, Ustadz Abdan sudah menunggu sedari tadi," ucap Khadijah.

Mendengar untaian itu, Abdan beralih menatap Annora sedangkan Annora menatap Zahra yang terpaku menatap Abdan. Ada yang terluka di sini, tapi luka yang tidak meninggalkan jejak darah, hanya saja tersayat di hati Zahra.

Zahra semaksimal mungkin tidak menumpahkan air matanya, dia menahannya, tapi ini sangat sulit untuk ditahan karena teramatlah pedih di hati.

Zahra pun berlari menuju kamar tanpa menoleh ke arah Annora sedikit pun. Annora yang ingin mengejarnya namun dicegat oleh Khadijah.

"Nanti kamu urus Zahra, ya," ucap Khadijah seraya mengelus bahu Annora. Sebenarnya Khadijah sudah mendengarkan percakapan Zahra dan Annora di kamar tadi, tapi Khadijah yakin Zahra anaknya sudah cukup dewasa, dan dia akan baik-baik saja.

Annora pun mengangguk dan duduk di sofa dekat Khadijah. Abdan melihat ke arah Annora, sepersekian detik pandangan mereka bertemu seraya mengulas senyum satu sama lain. Hanya saja, Abdan tersenyum tulus dengan tatapan penuh cinta, namun Annora hanya biasa saja.

"Kamu apa kabar, Annora?" Tanya Abdan.

"Alhamdulillah, baik, Ustadz," balas Annora yang menundukkan pandangannya. Ini adalah posisi yang sangat berat bagi Annora. Annora sangat bingung saat ini, di benak nya hanya memikirkan Zahra saat ini, apakah Zahra baik-baik saja di kamarnya?

Annora meremas abayanya, memejamkan matanya, dan mengatur nafasnya, dia tidak boleh terlalu panik.

"Abdan langsung saja, boleh, Tante?" Tanya Abdan kepada Khadijah.

"Boleh," jawab Khadijah dengan seulas senyum. Kedua orang tua Abdan juga mengulas senyum mendengarnya.

"Bismillahirrahmanirrahim. Annora, kamu pasti bingung dengan kedatangan saya kemari, tapi kedatangan saya sekarang adalah keseriusan saya Annora. Saya Abdan Arizky, tidak mau berlama-lama memendam perasaan saya, saya dengan sepenuh hati, setulus jiwa dan karena Allah, saya ingin memgkhitbah mu, Annora." Ucap Abdan dengan lantang.

Ucapan itu membuat Annora semakin meremas Abayanya. Tanpa Abdan tau, air mata mengucur deras dari pelupuk mata orang yang sangat mencintainya di balik tembok kamar itu. Ucapan Abdan sangatlah melukai hati Zahra, ini lebih menyakitkan dari Abdan membuang makanan pemberiannya, ini juga lebih menyakitkan dari apapun itu.

Annora Untuk Ravindra [On Going]Where stories live. Discover now