Bab 6 Wajah Sekolah

4 2 5
                                    

Spidol yang mulai macet itu membuat Bu Sari sedikit frustasi. Ia mengocoknya di udara agar tinta hitamnya bisa keluar demi menuliskan soal yang belum selesai ia tulis. Bunyi berdecit memilukan telinga yang keluar dari spidol itu mulai terdengar.

“Di kelas ini apa punya spidol cadangan? Atau tintanya? Spidol ibu macet banget.”  Salah satu murid langsung menunjuk ke arah meja wali kelas. Ada sebuah tempat pensil yang berisikan beberapa spidol di sudut meja wali kelas, hampir tak terlihat karena terhalang buku. Langsung saja Bu Sari meneruskan kegiatan menulis soalnya.

“Ih, harusnya jangan dikasih tahu.”

“Gimana sih, kamu.” 

Terdengar bisik-bisik kecewa yang diarahkan ke murid tadi, Wirya, Si Ambis. Yang punya nama hanya bisa menatap dan melanjutkan mengerjakan soal.

Di saat yang sama, Abelle malah menyembunyikan wajahnya di meja. Matanya tak kuat melihat soal-soal yang begitu banyak dan sulit di hadapannya. Padahal cuaca sedang hujan deras di luar, biasanya guru jam pelajaran pertama datang sedikit terlambat. Tapi bisa-bisanya guru matematika satu ini menapakkan kaki di kelas dua menit setelah bel masuk berbunyi. Abelle semakin mengantuk dengan hawa dingin yang masuk ke ruang kelas.

Abelle mencolek Keisha yang duduk di depannya dan bergumam, “Kei, kamu ngerti nggak, sih?”

Sebagai jawaban Keisha menggelengkan kepala lesu. Abelle membuang napas, tapi setidaknya yang tidak mengerti angka-angka itu tak hanya ia seorang.

“Baik, silahkan kerjakan soal-soal ini di rumah untuk penilaian harian, pertemuan berikutnya kita bahas. Materi ini juga akan keluar di ujian akhir nanti.” Saat menoleh ke belakang, Bu Sari mendapati wajah-wajah lemas dan lesu. 

“Paham?” Bu Sari bertanya tegas, seketika semuanya langsung terbangun dari lamunannya masing-masing. Semua murid langsung menjawab paham, padahal kebanyakan kebalikannya.

Abelle menguap lebar, akhirnya pelajaran membosankan ini telah selesai. Hujan masih turun deras sampai ke jam pelajaran berikutnya, hingga menuju ke jam makan siang.

“Ke kantin, yuk, Belle,” ajak Keisha dan Celine.

Mereka bertiga pun berjalan ke kantin yang ada di lantai bawah. Lantai koridor menjadi basah karena hujan dan angin yang kencang. Pelan-pelan Abelle berjalan agar tidak terpeleset akhirnya sampai juga mereka di kantin.

“Kamu pesen apa? Aku kayaknya mie bakso sama gorengan, deh,” ucap Keisha sembari menyiapkan uang.

“Aku antri duluan, ya, udah mulai rame soalnya.” Celine menunjuk ke arah tempat seblak.

Dalam hati Abelle kebingungan, ia juga ingin makan mie bakso, tapi ia harus menghemat karena uang di dompetnya tinggal tersisa sedikit karena kejadian waktu itu. Setelah ini Abelle harus minta tambahan lagi kepada Mama.

“Aku cilok aja, deh.”

“Tumben nggak yang berat-berat?”

“Lagi nggak laper banget, sih,” Abelle beralasan.

Setelah itu mereka pun antri di tempat masing-masing. Beberapa menit kemudian, mereka bertemu lagi dan memilih meja kosong.

“Wah, ujan-ujan gini emang paling pas makan seblak,” komentar Celine sambil kepedasan.

“Eh, sparing ‘kan bentar lagi, gimana kalo kita tambahin latihan sendiri?” celetuk Abelle di tengah kegiatan makannya.

“Latihan sendiri?”

“Iya, jadi nanti janjian gitu di luar sekolah latihannya.”

“Di mana?”

“Sewa lapangan luar.”

Between Jersey & Macaron (END✓)Where stories live. Discover now