Bab 23 Menjalankan Mimpi

2 1 3
                                    

Semua orang bertepuk tangan sekali lagi untuk kelima orang terpilih. Coach Jeffrey memberikan ceramah singkat lagi agar mereka yang tidak terpilih tidak begitu sakit hati dan kecewa. 

“Apa yang kalian rasain sekarang?” tanya Coach Jeffrey. Mengajak murid-muridnya mengobrol santai adalah salah satu cara Coach Jeffrey menghibur mereka. 

Tapi tidak ada satupun yang menjawab. Mungkin mereka tidak tahu harus berkata apa. Perasaan mereka sedang berada di ambang garis kecewa dan kesal. Emosi yang dirasakan bisa meluap kapan saja, tapi tak mungkin mereka menunjukkannya di depan Coach Jeffrey. 

“Ayo, kita ngobrol singkat dulu sebelum bubar.” Coach Jeffrey membujuk. 

“Lumayan kecewa, coach.” Tidak, ia sangat kecewa. 

“Capek, tapi ya mau gimana lagi.” Sebenarnya, hatinya tidak menunjukkan kepasrahan. 

“Nggak tau harus ngomong apa, coach.” Ya, ia berusaha tidak mengeluarkan amarahnya. 

Mereka yang tidak terpilih memendam perasaannya masing-masing. Termasuk Bintang. Ia tidak menjawab perkataan coach tadi. Bahkan sedari tadi ia tidak bertepuk tangan seperti yang lainnya. Amarah pekat menyebar di hatinya. Berhari-hari, berminggu-minggu Bintang mengikuti ekskul dan latihan khusus, tapi kenyataannya ia tak terpilih. Ia berpikir tidak ada yang salah sejak awal, semuanya ia lakukan dengan benar. Ia selalu menuruti kata-kata coach nya. 

Bahkan sejak awal ia memberanikan diri untuk masuk ekskul basket, padahal saat itu ia sangat tidak percaya diri. 

“Gue ngerti kalian pasti kesel, kecewa, dan lain-lain. Tapi takdir yang lebih besar udah nungguin kalian. Kalo terus-terusan nyalahin diri sendiri, nggak ada gunanya juga, ‘kan? Kalian juga keren, tapi persaingan bakal terus ada di dunia olahraga. Ya, intinya kalian yang paling tau diri kalian sendiri. Jadi, semangatin diri sendiri, ya? Oh ya, semoga habis ini kalian tetep akur dan nggak ada masalah, oke?” Coach melirik Bintang saat mengatakan kalimat terakhir. 

Bintang terperanjat saat tatapannya bertemu dengan kedua mata Coach Jeffrey. 

Coach Jeffrey menyuruh semuanya berdiri dan melakukan tos tim. Sorakan yang terdengar kencang hanya berasal dari kelima orang itu. 

“Oh ya, buat yang kepilih, langsung buka website DBL trus daftar, ya. Info lain nanti menyusul,” tambah Coach Jeffrey sebelum bubar.

Mereka berlima kompak menjawab, “siap, coach!”

“Kei, Cel, kita kepilih!!” Abelle merangkul kedua temannya itu sambil melompat girang. 

Keisha dan Celine juga bereaksi sama, mereka bersorak girang dengan senyum yang paling lebar. Mereka tak menyangka hal ini terjadi pada mereka. Sepertinya inilah momen paling membahagiakan dalam hidup mereka. 

“Aku nggak nyangka kita kepilih bareng.” Keisha menangis lagi. Celine menghiburnya dengan candaannya. 

“Artinya, kita bakal pergi bareng-bareng juga!” Abelle bersorak riang. Keisha dan Celine berseru lagi. Mereka melompat-lompat dan berpelukan seperti kartun boneka warna-warni dengan matahari paling ikonik sepanjang masa. 

Beberapa menit mereka bertiga habiskan untuk mengeluarkan perasaan bahagia mereka. Mereka juga bersiap untuk pulang dan membawa kabar gembira ini kepada keluarga. 

“Oke deh, aku balik dulu ya! Bye!” Abelle berpamitan karena busnya sudah datang. Hampir saja ia ketinggalan bus, tapi karena pak sopir sudah hafal dengan Abelle, maka ia menunggunya dengan sabar di halte. 

Abelle melompat masuk dengan cengar-cengir. Dengan senyum nya itu seolah ia berkata, “makasih pak sopir udah nungguin saya, hehe.” 

Kondisi bus agak penuh, jadilah Abelle harus berdiri. Tak masalah bagi Abelle, karena sekarang ia berdiri sambil memandangi medalinya. Maka perjalanan ke rumah pun tak terasa. 

Between Jersey & Macaron (END✓)Where stories live. Discover now