Bab 17 Ketakutan Menjalar

7 1 4
                                    

Abelle melangkah tertatih. Dengan susah payah ia berjalan hanya untuk menggapai pintu rumahnya.

Bruk! Abelle jatuh sedetik setelah ia membuka pintu. Kakinya lemas setelah berjalan dari gerbang komplek.

“Abelle!” Ryan terkejut saat mendengar suara dari dapur. Ia lebih terkejut lagi karena Abelle tersungkur di depan pintu.

“Ya ampun … kamu kenapa, Belle? Duduk dulu di sini.” Ryan membopong Abelle untuk duduk di sofa.

“Kemaren kaki, sekarang tangan yang luka. Segitunya kamu main basket sampe luka-luka gini?”

Ryan menarik tangan Abelle untuk melihat lukanya lebih dekat. Entah hanya perasaannya atau pikirannya yang melebih-lebihkan, Abelle merasa Ryan khawatir kali ini. Jemari Ryan berusaha mengelus plester luka itu membuat Abelle salah tingkah.

“Duh, nggak apa-apa, kok.” Abelle cepat-cepat menyingkirkan tangannya.

“Kenapa bisa kayak gini, Belle? Coba cerita.”

Deg.

Apa ini? Abele belum pernah merasakan ini sebelumnya. Biasanya ia dengan berani melawan kata-kata nasehat Ryan sambil menatap matanya tajam bagai elang. Kini ia tak bisa melihat kedua bola mata Ryan yang menatap Abelle dengan dalam, mewakili perasaan khawatirnya.

“Apa, sih. Nggak kenapa-kenapa, kok.” Abelle menyingkirkan tangannya. Matanya berusaha melihat ke arah lain.

Ryan menghela napas sambil tersenyum sabar, “lain kali kalo main hati-hati, ya, Abelle.” Gerakan tangan Ryan yang tiba-tiba mengacak rambut Abelle membuat jantungnya tak karuan.

“Saya mau lanjut masak dulu. Kamu mandi dulu, nanti baru makan, oke?” Ryan berjalan ke dapur melanjutkan aktivitas memasaknya.

“Oke …”

Abelle buru-buru naik ke atas demi menyembunyikan salah tingkahnya yang sepertinya sudah ketahuan oleh Ryan.

Abelle tak bisa menahan ini. Kenapa tiba-tiba tukang masaknya menjadi seperti itu? Tugasnya ‘kan hanya memasak, bukannya menjadi dokter yang memperhatikan luka seseorang.

Tidak, Abelle tidak boleh menyandang gelar perempuan gampangan. Abelle menggelengkan kepalanya. Paling ia akan kembali marah-marah, memberi nasehat, lalu memaksanya makan empat sehat lima sempurna seperti biasa.

Abelle segera mandi demi meredam pikiran gilanya itu.

***

“Jujur aja ya, Belle. Pas pertama kamu bawa bekel, aku kaget banget, loh. Kamu lagi pengen ngubah gaya hidup, ya?” Celine berkomentar sambil mengunyah seblak dari kantin. Keisha yang sedang menikmati batagornya pun mengangguk setuju, mempertanyakan hal yang sama.

“Iya … Kira-kira begitu,” balas Abelle nyengir tipis.

Sebagian besar murid selalu membeli makanan di kantin untuk makan siang. Jarang sekali ada yang membawa bekal. Saat Abelle pertama kali mengeluarkan kotak bekalnya di kelas, semua orang menatapnya seperti ia melakukan sesuatu yang aneh. Awalnya Keisha dan Celine juga begitu, tapi lama-kelamaan mereka terbiasa. Bahkan sekarang mereka berdua mau menemani Abelle makan di kelas ketimbang di kantin. Abelle sendiri tidak mau makan bekalnya di kantin karena semua orang pasti akan menertawakannya.

“Kayaknya bagus juga bawa bekel, jadi bisa hemat duit jajan. Tapi kayaknya mamaku nggak sempet buatnya pas pagi-pagi,” tambah Celine.

Abelle sedikit terperanjat mendengarnya. Ia merasa aneh karena seperti ia yang satu-satunya memakan masakan buatan seorang chef setiap hari. Abelle juga meminta Ryan untuk membuat bekalnya seperti masakan pada umumnya, maksudnya tidak tampak seperti masakan hotel. Jika suatu hari nanti Ryan memasukkan lobster utuh di kotak bekalnya, Abelle akan menimpuknya dengan kain lap dapur. Ia tak mau bekalnya itu jadi pusat perhatian.

Between Jersey & Macaron (END✓)Where stories live. Discover now