Bab 22 Alasan untuk Sebuah Senyum

2 0 0
                                    

Mobil putih itu masuk ke dalam garasi dengan cara dimundurkan. Pintu garasi besi ditutup setelah mobil terparkir sempurna.

Mita lelah sekali, ia baru saja menyelesaikan rapat selama empat jam dengan klien nya. Se-menyebalkan apapun permintaan klien, pasti Mita sanggupi demi harga yang sepadan.

“Hai, sayang. Kamu lagi apa tadi di luar?” sapa Mita setelah keluar dari garasi.

“Ehm, itu … ada kurir paketnya Kak Ryan.” Abelle mencoba menjawab senatural mungkin.

“Oh gitu. Chef Ryan suka belanja juga, ya,” balas Mita diakhiri tawa formalitas.

Abelle langsung merasa lega karena ibunya tidak bertanya lebih jauh lagi. Ryan pun tadi hanya mengiyakan saja kata-kata Abelle. Ia menduga Abelle pasti akan terkena masalah jika Mita tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Duh, Mama capek banget, nih. Abelle udah makan belom? Makan malem hari ini apa, chef?” Mita berjalan masuk ke dalam rumah.

Ryan kemudian menjelaskan makan malam yang telah ia buat. Setelah keadaan kembali seperti biasa, Abelle melanjutkan makannya tanpa berbicara apapun lagi.

Dari dapur, Ryan memperhatikan Abelle yang makan dengan lesu. Sebenarnya jam kerja Ryan sudah habis pada pukul tujuh malam. Tapi melihat tatapan sendu Abelle di saat ia makan membuat Ryan ingin duduk di sampingnya untuk menemaninya.

“Abelle.”

“Eh, ya? Kenapa kak?”

Ryan tersenyum, “mau ditemenin?”

“Eh … Nggak usah, harusnya jam segini Kak Ryan udah pulang ‘kan?” Abelle tak mengerti bagaimana bisa ia tiba-tiba gugup di depan Ryan. Mendengar pertanyaan seperti itu membuat Abelle mempertanyakan apa yang sebenarnya hatinya rasakan. Ia merasa seperti kepala dan hatinya sedang dalam situasi perang dingin melihat Ryan bersikap seperti ini.

“Ya udah, saya balik dulu,” Ryan terdiam beberapa saat, “kalo mau cerita, saya siap dengerin, kok,” lanjutnya dengan senyum yang membuat matanya ikut tersenyum juga.

Sensasi menyentuh menyebar di hati kecil Abelle. Itu adalah senyum paling tulus yang baru pernah Abelle lihat dari orang lain. Hatinya menjadi tenang hanya karena mendengar kata-kata itu. Abelle tak bisa menutupi rona merah yang muncul di pipinya.

“Oke … kak. Hati-hati.” Ryan berjalan keluar sambil melambaikan tangan.

Tanpa disuruh, kaki Abelle otomatis bergerak mengantar Ryan sampai keluar gerbang. Ia memperhatikan Ryan yang membuka gerbang, menyalakan vespa hijaunya, memakai helm, kemudian lama-kelamaan jauh dari pandangan Abelle.

Ryan tersenyum karena tiba-tiba Abelle mengantarnya sampai ia keluar gerbang rumah. Biasanya Abelle hanya akan melambaikan tangan lalu melanjutkan makan malamnya. Ryan merasakan ada sesuatu yang berubah, dan ia tak bisa berhenti tersenyum karena itu.

Abelle kembali ke dalam dan menutup pintu. Ia masih tak percaya bahwa beberapa menit lalu ia bertemu dengan ayahnya yang sudah lebih dari lima tahun tak ia jumpai. Sosok ayah yang begitu ia rindukan dalam kehidupannya tak mungkin bisa kembali lagi. Betapa miris memikirkan Abelle harus merahasiakan pertemuan dengan ayahnya sendiri dari ibunya.

Sosok anak kecil dalam diri Abelle tak mau kejadian itu terulang lagi. Ia tak mau menambah luka di jiwanya karena amarah Mama yang tak menyukai permintaan Abelle untuk bertemu dengan Papa. Abelle takut jiwanya terluka lagi, sehingga ia mengurung sosok anak kecil di dalam dirinya agar ia tak meminta permintaan yang sama seperti dulu kepada ibunya.

“Mama, Papa kemana? Papa bakal pulang, ‘kan?”

“Mama, aku mau ketemu Papa.”

“Ma, aku kangen Papa.”

Between Jersey & Macaron (END✓)Where stories live. Discover now