d a t e d

29.6K 1.4K 61
                                    


title : Dated

time setting : paralel to Wedding Brunch

status : completed


.


blurb

Sekian lama move on, Trinda mendadak CLBK—crush lama belum kelar—melihat mas-mas mempesona berkemeja batik slimfit incarannya delapan tahun silam muncul tanpa gandengan di depan publik untuk pertama kali, plus terkonfirmasi jomblo.

Harapan auto terbit.

Dia bukan lagi anak SMP creepy yang diam-diam naksir sahabat masnya. Sekarang, Trinda sudah glow up, sebentar lagi lulus S1. Masa iya, masih tetep nggak ada kesempatan?

"Cil ... astaga, udah pake kebaya cakep-cakep, makan es krim masih aja berantakan. Makanya kalau makan itu sambil duduk, Nduk."

Tanpa banyak usaha, keberadaannya sebagai adik satu-satunya calon mempelai pria segera ter-notice sang tamu agung. Tapi, bukan situasi seperti ini yang Trinda harapkan.

Juga ... 'cil' dan 'nduk', katanya?

Jadi, sudah setua ini Trinda masih dianggep bocil, gitu? Ya Tuhan ....


.


insight

Jam tiga dini hari, aku membuka mata demi menyadari sudah berada di atas kasur di ruangan yang ... cukup familier.

Sebuah selimut sutra bambu yang lembut dan adem menutupi tubuhku sampai bahu. Wangi lemon grass berpadu dengan madu tercium ke hidung. Dan aircon, yang terpasang di dinding seberang ruangan yang tidak seberapa luas, memaparkan suhu yang pas untuk tidur; sejuk, tidak terlalu dingin.

Interior ruangan sederhana saja, didominasi warna abu-abu dan hijau forest. Semua lampu ruangan padam, hanya tertinggal sedikit cahaya dari arah balkon yang tidak seberapa mengganggu.

Overall, kamar tamu apartemen Mas Ismail, sesuai namanya, memang cukup memanjakan tamu.

Aku menguap pelan. Sadar sudah sempat tertidur nyenyak cukup lama.

Tadinya jelas aku ketiduran di sofa, saat mengerjakan presentasi magang yang tidak ingin kubahas lebih lanjut.

Lalu pasti sahabat masku itu yang kemudian membawaku masuk kamar setelah semalaman aku merepotkannya: meminjam charger laptop, numpang mandi, minta makan.

Itu tadi sebenarnya bukan modus, meski tentu saja aku nggak akan menolak memodusinya jika situasi mendukung.

He is my crush since I was in primary school.

Cakep, sopan, ramah, humoris, seru diajak ngobrol, teman baiknya mas kandungku pula ... yaaah, standar boyfriend material bocah-bocah pada umumnya. Tambahan lagi, Mas Ismail nggak pernah jomblo sejak pertama aku mengenalnya. Cewek-cewek yang sering dia bawa ke rumah saat mengunjungi masku minimal secakep Sanly Liuu atau Andrea Gunawan. Mungkin itu juga yang bikin diriku makin penasaran dan kepikiran ... masa iya sampai aku bertransformasi jadi mbak-mbak hits kampus cantik begini, si mas-mas masih nggak melirik juga? Aku yang sekarang ini kurang di bagian mana?

Merasa tidak menemukan ponselku, aku bangkit dari kasur dan menyalakan saklar lampu.

Tidak ada barang-barangku di sepanjang mata memandang, membuatku kemudian berjingkat keluar menginjak lantai marmer yang dingin.

Tentu saja, Mas Ismail nggak akan kepikiran membawa serta sandalku saat membawaku masuk tadi. Sudah untung dia tidak tutup mata dan membiarkan tamu tidak tahu diri ini tidur di sofa tamu.

Melewati area ruang tengah yang remang-remang, aku tidak sengaja melihat pantulanku di bufet-bufet kaca.

Well ... saat Mas Ismail hendak pulang tadi, selain dirinya memang tinggal aku seorang di kantor, sedang begadang numpang mengerjakan presentasi untuk esok hari karena charger laptopku rusak, jadi tidak bisa mengerjakan di rumah.

Long story short, Mas Ismail kasihan padaku, menawarkan bantuan. Meminjamkan charger miliknya, menyuruhku mandi dan berganti pakaian, memberiku makan, menjadi teman brainstorming-ku selama berjam-jam sampai aku ketiduran. Jadi sudah bisa ditebak, saat ini aku mengenakan pakaiannya. Sebuah kaos longgar dan celana training kepanjangan.

Cuma diperlakukan selayaknya tamu biasa, tapi somehow aku merasa hubungan kami mendapat kemajuan lagi.

Memang, dia belum menganggapku lebih dari adik temannya, dan mungkin masih banyak cewek lain di luar sana yang dia perlakukan lebih istimewa. Aku juga nggak sedang membandingkan diriku dengan mereka, melainkan membandingkan situasiku yang dulu dengan yang sekarang.

Kalau dia melihatku masih seperti adik bayi temannya, mungkin dia akan menelpon masku dan menyuruhnya menjemput alih-alih mengizinkan menginap. Jadi karena dia percaya padaku, setidaknya aku bisa menganggap diriku sedikit naik kasta; jadi adik sahabat yang sekarang sudah besar dan sedikit bisa bertanggung jawab pada diri sendiri.

Jadi, apa namanya kalau bukan kemajuan ... dan kesempatan?

Ponsel, laptop, dan barang-barangku yang lain kutemukan di meja tamu.

Aku mengambil ponselnya saja untuk kemudian berencana kembali ke kamar ketika kulihat sang tuan rumah membuka pintu kamarnya, berjalan santai ke arah dapur dengan bertelanjang dada.

Aku meneguk ludah.

God ... he's so damn hot.

Tinggi, ramping, punya komposisi otot yang sangat pas, tidak kurang, tidak lebih.

Mukanya kecil dan tirus, tidak pernah tercukur bersih. Rambutnya agak panjang dan berantakan, tipe-tipe rambut badboy dan berandalan di film-film. Ditambah penampilannya yang selalu sederhana, dia hampir nggak terlihat seperti seorang pengusaha muda dengan omzet milyaran per bulan.

Aku tidak berencana menegurnya, tapi rupanya dia melihatku lebih dulu tanpa menyalakan lampu.

"Kebangun, Cil?" Dia bertanya retoris.

Aku meneguk ludah sekali lagi, menyadarkan diri untuk nggak bersikap memalukan meski suara baritonnya yang seksi membuatku merinding. "Iya, Mas. Terus keinget belum matiin laptop. Maklum, barang udah uzur, suka ngambek kalau ke-sleep doang."

"Tenang. Udah gue matiin, kok."

Sebuah sahutan sambil lalu yang diucapkan sembari menuang air dingin dari dispenser itu ... membuatku meleleh to the bone.

[]

Dated; Engaged [COMPLETED]Where stories live. Discover now