Chapter 1

97 8 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Hujan masih belum reda sedari tadi. Aku hanya terdiam di kursi bersama laptop yang kuanggurkan sedari tadi. Rasanya sangat gamang, mungkin karena rasa kesalku kepada mereka yang seharusnya mengerjakan tugas bersama hilang entah ke mana tanpa kabar. Lembar kosong yang seharusnya kutulis masih menunggu untuk segera diisi. Aku melihat sedikit keluar jendela, semburat petir yang mengkilap cepat dan suara gemuruh yang membangunkan dari lamunan. Ku sentuh sedikit laptop agar layarnya yang telah menggelap lama tak tersentuh menyala lagi. Lantunan lagu dari speaker-ku masih menggema dengan terputar lagu galau yang menjadi langganan Pamungkas tiap kali manggung dari satu kota ke kota lain. Sudah pasti "I Love You But I'm Letting Go" versi konser yang kutemukan di Youtube, entah mengapa versi ini membuatku candu dan dapat merasakan lagu dengan makna yang lebih dalam.

Perihal cinta mungkin aku tidak tahu apa-apa. Sejak aku lahir sampai menginjak usia 20 tahun aku belum pernah memiliki kekasih. Tapi bukan berarti tidak pernah menyukai seseorang. Ada beberapa pria yang pernah kucoba jadikan tambatan hati, meskipun kebanyakan diantaranya tidak pernah dekat. Bagi mereka yang katanya menyukai juga belum pernah ada yang berhasil membuka pintu hatiku yang masih rapat tertutup, seringkali mereka yang membuatku jauh dan berlari pergi karena terlalu memaksakan atau membuatku ragu. Beberapa temanku mengatakan aku sangat bodoh tentang cinta. Beberapa orang juga mengatakan aku aneh bahwa seorang penulis cerita dan puisi cinta belum pernah memiliki seorang kekasih. Beberapa dari mereka bahkan meragukan nasehatku tentang cinta walau mereka selalu mengeluhkan dan meminta nasehat kepadaku setiap kali bertengkar dengan pacarnya.

Perihal tentang kekasih, memang belum ada yang datang dan memberikan perasaan yang berbeda dari teman biasa. Mendengar banyaknya temanku yang hilang akal sehat karena cinta juga membuatku berpikir lebih lama lagi untuk benar-benar terjun ke dunia yang melenakan itu. Ada salah satu kawanku yang berharap kekasihnya berubah jauh dari kepribadiannya, ada kawanku juga yang membuyarkan pandangan dan bertahan pada hubungan yang tidak ada ujungnya, dan banyak cerita lainnya yang membuatku semakin berpikir apakah hubungan romansa penting? atau karena mereka yang bertemu dengan orang yang salah sehingga banyak kejanggalan yang tercipta. Tapi banyak juga di antara kawanku yang berhasil dengan cintanya. Mereka yang juga mampu berjalan beriringan antara pendidikan dan romansa. Ikut lomba bersama sampai menyelesaikan tugas atau hal positif lain bersama. Sepupuku yang berhasil mendapatkan cinta pertamanya walau terpisah jarak yang sangat jauh. Pandangan mengenai dua dimensi cinta positif dan negatif ini membuatku lebih selektif dan tidak mau gegabah untuk mengambil keputusan. Mungkin akan sangat membingungkan apabila belum ada yang mendekat, tetapi bukankah lebih membingungkan apabila ada yang dekat tetapi memberikan sinyal yang tidak beraturan. Seolah tidak berani menyatakan maksud dan tujuannya. Seperti mencuri anak ayam lalu mengembalikan setelah digoreng. Ketika sudah mendapatkan enaknya lalu dikembalikan sekedarnya, berubah dari bentuk aslinya. Kepada diri bersama, melihat dan jangan sampai tidak sadarkan diri.

Suara notifikasi muncul dari handphone-ku, pesan dari seorang teman dalam grup yang meminta untuk segera dibicarakan pembagian tugas. Aku mengirimkan saran dengan daftar materi yang akan dibahas, menunggu mereka setuju dan dapat segera melakukan undian acak materi yang akan dikerjakan masing-masing. Presentasi dimulai minggu depan yang mana adalah pertemuan terakhir sebelum liburan. Satu semester ini sungguh sangat melelahkan, beberapa kali aku jatuh sakit dan tidak mampu berangkat kuliah. Hari demi hari terasa sama saja. Selalu berkutat dengan tugas dan laporan. Meski aku memiliki teman dekat, rasanya masih hampa saja. Beberapa kali aku mengutuk diri bahwa tidak mampu menjalin hubungan dengan siapa-siapa. Aku yang seringkali sendirian menerjunkan diri membantu mereka yang mungkin tidak perlu dibantu atau mempersilahkan diriku mengerjakan yang seharusnya bukan aku kerjakan. Entahlah, entah karena mengerti rasanya dikucilkan atau membohongi diriku agar tidak ada ruang sepi dapat menghampiri.

Karuna dan BharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang