Chapter 11

40 6 12
                                    


Pementasan ditutup dengan riuhnya tepuk tangan dari para penikmat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pementasan ditutup dengan riuhnya tepuk tangan dari para penikmat. Banyak artis ibu kota yang mendatangi Nicholas Saputra untuk mengucapkan selamat. Sedari tadi aku masih duduk di kursiku, melihat bagaimana semua orang sibuk dengan dirinya masing-masing. Hanya aku yang tidak punya kesibukan di sini. Terlalu kikuk dalam situasi sosial. Kalau melihat kilas balik ke belakang, ada beberapa hal yang membuatku tidak nyaman dalam situasi seperti ini. Terlalu sering dibiarkan sendiri nampaknya membuatku semakin takut untuk sendirian, tidak pernah diberikan arahan bagaimana harus menghadapi. Bagaikan perang tanpa senjata. Hanya tanganku yang bisa kugunakan untuk memukul dan kaki untuk menendang. Masih jelas dalam ingatanku ketika masih TK dan ada acara sekolah mengunjungi pabrik mie. Semua temanku didampingi oleh salah satu dari orang tuanya dan aku sendirian. Kedua orang tuaku sibuk bekerja, dan aku hanya berangkat seorang diri. Tidak sepenuhnya sendiri juga sebenarnya karena berangkat menggunakan bus . Tapi tetap saja aku sendiri. Aku masih ingat betapa menyedihkannya, untuk berkeliling tanpa ada seorang untuk digandeng di tempat yang sangat asing. Temanku sibuk dengan orang tuanya dan aku hanya membuntuti mereka dari belakang. Saat makanpun di sebuah hall yang cukup besar, aku makan seorang diri. Menyedihkannya masa kecilku yang tidak punya teman, aku juga tidak mengerti mengapa tidak ada yang mau mendekat bahkan cenderung merundung. Meski, tidak ekstrim tetap saja itu menyedihkan. Tidak banyak yang tahu aku menjadi korban perundungan, orang tuaku, bahkan Kak Echa yang setiap saat menjadi teman curhatku tidak tahu mengenai hal itu. Pernah terjadi dalam hidupku ketika kelas empat melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan karena pikiranku mengatakan itu akan membuatku terlihat hebat. Aku salah, itu tidak bertahan lama karena aku menyadari. Kita tidak akan menjadi orang hebat kalau menjadi orang yang sama dengan yang sudah melakukan kejahatan kepada kita. Sejak saat itu, aku memilih untuk sendirian daripada harus disakiti dan menyakiti orang lain.

Mengenai menyukai seseorang juga tidak mulus. Aku pernah dipermalukan di depan umum karena menyukai seseorang yang setelah ku pikir kembali agaknya aku cukup menyesal menyukai seseorang yang tidak ada spesial-spesialnya. Pernah, suka dengan orang dan patah hati karena temanku menyukainya juga. Cintaku bertepuk sebelah tangan karena mengetahui dirinya sudah punya kekasih. Pernah mencoba menyukai orang yang lebih dahulu menyukaiku tapi tidak berhasil, dia tetap tidak bisa meyakinkanku meski sudah sekian tahun lamanya. Perihal-perihal itu yang membuatku semakin takut dengan manusia, padahal kalau dipikir-pikir aku juga manusia. Jadi, sebenarnya apa yang kutakutkan?.

"Hai." ucap seseorang jelas tidak asing, itu Mas Bhara.

"Hai." sapaku dengan senyuman.

"Gimana pertunjukannya?" tanyanya kepadaku yang kini duduk di sampingku.

"Serius, Saya berterima kasih udah diundang kemari. Kayaknya kalau nggak diajak nggak bakal bisa lihat pertunjukkan sekeren ini."

"Lebay deh, emangnya kenapa nggak bakal bisa?"

"Karena nggak ada yang bisa diajak."

"Besok-besok kalau ada yang mau ditonton bingung sama siapa, kabarin Saya aja. Nanti Saya temenin."

"Emangnya nggak sibuk? besok kalau sudah pulang ke Semarang juga nggak bisa sesering sekarang kan."
"Kan ada kereta, Saya bisa kesana. Kamu kalau mau kesini juga nggak apa. Urusan tiket nggak perlu dipikirin. Kan ada Saya."

"Tapi kan nggak enak kalau dibayarin terus."

"Demi ketemu Runa." ucapnya meyakinkan.

"Hmm, nanti ya terserah. Tapi nanti Saya bisa beli sendiri juga kok. Tenang aja."

Dia tersenyum, "Nanti kamu tahu yang kemarin Saya maksud Runa."

Aku hanya mengangguk.

Mataku memburu ke arah seseorang yang menjadi idolaku, Mas Bhara mau mengenalkanku padanya. Sungguh, sebenarnya ini bukan kali pertama aku bertemu dengan seseorang yang terkenal. Tapi, untuk bertemu dengan pemeran dari tokoh fiksi kesukaanku itu yang pertama kali. Meskipun, seorang Nicholas Saputra sudah punya portofolio yang besar dalam dunia perfilman tapi tokoh paling favoritku yang diperankan olehnya tetaplah Rangga. Rangga muda maupun Rangga dewasa sama-sama memiliki tempatnya sendiri. Film terbarunya Sayap-sayap Patah dengan Ariel Tatum juga salah satu yang aku suka, hanya saja karena terlalu banyak darah dan sosok yang diperankannya meninggal aku mengurungkan diri untuk menyukai lebih dalam. Terlalu menyesakkan. Andai suatu saat nanti ada kesempatan besar, sungguhan aku sangat berkeinginan bisa bekerja sama dengan Nicholas Saputra. Berandai-andai saja dahulu, siapa tahu kejadian. Entah membuat film bersama atau pertunjukan seperti ini, pasti sungguh menyenangkan bila dikerjakan dengannya.

"Halo Runa, Saya sudah dengar dari Gusti perihal karya kamu. Sempat membaca juga kemarin saat perjalanan Solo." ucap aktor berbadan jangkung itu, Nicholas Saputra.

"Terima kasih banyak, Saya nggak pernah menyangka ada kesempatan aktor favorit Saya bisa melihat karya Saya." ucapku tersenyum sambil sedikit malu-malu.

"Ada potensi yang Saya lihat, semoga bisa segera ada yang diterbitkan. Atau mungkin barangkali ada yang mau mengajak kerja sama di film." ungkapnya.

"Saya juga berharap itu bisa terjadi, mungkin kita bisa kerjasama untuk buat proyek bersama." kata Mas Bhara.

"Kalau Saya jelas tidak akan menolak." ucapku.

Kami berempat mengobrol cukup lama, banyak yang dibahas terutama mengenai dunia perfilman dan tentunya pertunjukkan tadi. Setelah cukup lama aku pamit untuk kembali ke hotel, tidak enak rasanya kalau terlalu malam disini terlebih diantar dan jemput. Mas Bhara dapat memaklumi itu, berhubung masih disini sampai lusa jadi besok aku masih bisa bertemu dengan Mas Bhara sebelum pulang. Sewaktu dulu aku kemari bersama dua temanku, Pracima Tuin belum selesai di renovasi. Mungkin, besok akan menjadi kali pertama untuk makan disana dan melihat pemandangan indah sore hari. Katanya ada spot favorit Mas Bhara kalau sedang ingin bersantai.

***

Kembali dengan kesendirian di ruangan dan tembok-tembok. Langit hitam malam ini tidak banyak bertabur bintang, mungkin karena bintangnya sudah tidur malam ini. Mataku terpanah pada ponselku yang menyala. Ramai di aplikasi tiktok banyak mata yang mempertanyakan apakah Ariel Tatum hadir dalam pertunjukkan tersebut. Nicholas dan Ariel memang sedang diperbincangkan terkait kedekatannya. Sejauh ini masih berita mereka, tidak ada yang menangkapku bersama dengan Mas Bhara.

"Masih online?" tanya Mas Bhara dalam telepon.

"Iya, kok belum tidur?" tanyaku.

"Masih ngurusin kerjaan."

"Oh gitu, lanjutin aja. Takut ganggu kalau sambil telponan."

"Nggak lah, lagi ngapain memangnya?"

"Buka tiktok aja sih. Ngecek aja." jawabku.

"Takut ada yang foto kita ya?"

aku hanya tertawa miris, "Iya"

"Kalau ada yang tau juga nggak masalah kok, Runa. Nggak ada yang perlu ditakuti."

"Tapi belum siap aja, Saya aja masih bersembunyi dibalik nama pena."

Bisa kurasakan ada deru nafas yang panjang darinya, "Runa, kita bicarakan besok saja secara langsung. Jangan tidur terlalu larut. Selamat tidur Runa, mimpi indah."

Lalu telepon itu tertutup, dan malam terasa semakin panjang.

Lalu telepon itu tertutup, dan malam terasa semakin panjang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Karuna dan BharaWhere stories live. Discover now