Chapter 7

32 3 2
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dia dalam panggilan telepon, kami berhenti di sebuah kedai Gudeg paling terkenal di Jogja tepatnya cabang yang bertepatan di jalan Malioboro tempat dimana para turis paling banyak berkumpul

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dia dalam panggilan telepon, kami berhenti di sebuah kedai Gudeg paling terkenal di Jogja tepatnya cabang yang bertepatan di jalan Malioboro tempat dimana para turis paling banyak berkumpul. Terlihat cukup intens, beberapa kali ia mengerutkan dan mencubit sedikit dahinya. Nada bicaranya tetap tenang walau kalau dari kalimatnya sepertinya sedang ada yang salah, entah apapun itu. Hingga akhirnya telepon itu selesai dan ponselnya kembali masuk kedalam kantong celana.

"Maaf." ucapnya lalu menyeruput kopi hitam yang dipesan olehnya.

"Kalau sibuk tidak apa, Saya bisa pergi sendiri. Kalau untuk bicara. Saya masih disini sampai minggu." ucpaku berusaha untuk meyakinkan kalau sebenarnya tidak apa kalau aku perlu sendirian. Sangat memahami bahwa dirinya sangat sibuk. Panggilan kerja dan segala macamnya pasti menghantuinya kemanapun dia jalan, dan aku tidak mau menjadi batu yang membuatnya tersandung dan berhenti dalam waktu yang lama denganku bersama perasaan yang tidak nyaman karena pekerjaanya.

"Setelah ini kamu mau kemana?"

"Tidak apa kalau perlu pergi, saya bisa pergi dari sini sendirian."

"Saya bisa antar kamu dulu sebelum menyelesaikan pekerjaan di stasiun. Ada pembangunan rel kereta baru yang perlu Saya lihat." ungkapnya sambil menyendok gudeg di depan matanya.

"Mungkin saya akan eksplor jalanan ini dulu saja." balasku sambil sibuk menyingkirkan telur yang ada di piringku ke samping. Aku lupa mengatakan untuk tidak menambahkan telur tadi.

"Nggak suka telur?" tanyanya padaku yang mungkin terlihat sangat sibuk dengan setengah butir telur yang tiap kali hampir jatuh ketika aku menyendok bagian lain dari gudeg ini.

"Suka sih, tapi kurang suka kalau kuningnya. Kecuali kalau setengah matang atau yang dadar" jawabku, memang sejak kecil agak sulit untuk mencerna dari mana enaknya kuning telur. Biasanya aku membagi kepada siapapun di dekatku yang menyukainya.

"Kalau nggak mau buat Saya saja."

"Nggak usah masa makan bekas saya?"

"Nggak lah, nggak masalah lagian nggak kamu apa-apain juga kan itu telurnya." ucapnya sambil menyendok kuning telur dan menyisakan putihnya.
"Putihnya suka kan?" tanyanya padaku setelah berhasil mengambil kuning telur itu.

Karuna dan BharaWhere stories live. Discover now