Chapter 18

40 5 11
                                    

If you could see that I'm the one

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

If you could see that I'm the one

Who understands you

Been here all along

So, why can't you see?

You belong with me

Taylor Swift - You Belong With Me

***

Jaket hitam milik Narhu, bertengger di gantungan baju tepat berada di pintu kamarku. Tidak ada yang bertanya itu milik siapa meski sebenarnya terlihat sangat asing. Karena di rumah ini tidak pernah ada yang memiliki jaket seperti itu. Aromanya juga berbeda dari semua parfum yang kumiliki. Parfum Ayah juga tidak begitu, Jo Malone English Pear yang menyegarkan berbeda dengan milik Narhu yang lebih maskulin. Tidak ada yang menyangka kalau jaketnya membuat guncangan hebat. Kebohongan yang tidak pernah kuucapkan pada siapapun keluar siang itu di cafe bersama Mas Bhara. Apakah baiknya ku katakan saja kalau sebenarnya itu bukan milikku? lalu mengatakan bahwa sebenarnya aku sakit siang itu dan ada seseorang yang mengantarkanku ke rumah. Tapi Mas Bhara juga bukan milikku, dia belum benar-benar berhak tahu kemana dan dengan siapa aku pergi. Tapi kebohongan itu menghantui, ketenangan seolah memudar begitu saja.

Senarhu, dia tidak banyak bertanya. Perilakunya mungkin cenderung semaunya. Entah ada apa yang terjadi pada dirinya, persis sebelum liburan kemarin tidak ada interaksi apapun selain tugas. Kemarin rasanya sangat berbeda. Sapu tangan, menunggu di depan kelas, mengantarkanku pulang, sampai jaketnya. Sebulan yang lalu patah hati sebelum memulai karena fotonya dengan perempuan lain. Sebulan setelahnya, yang artinya sekarang dia malah bersikap peduli. Mungkin aku akan menjadi nama yang ditaruh dalam daftar panjang perempuan yang dipatahkan hatinya untuk kesekian kalinya. Paras yang tiada seorangpun akan mencela, mata mana yang tidak tertuju padanya.

Jarum jam itu bergerak, detik demi detik berlalu begitu saja. Tiada pesan masuk malam ini. Sama seperti malam yang menyaksikan tangisanku, sendirian di ruang kamar yang gelap hanya dihiasi remang lampu kecil. Kelas besok dimulai siang, mataku seringkali terjaga sampai terlalu larut bila begini. Akhir-akhir ini bahkan tidurku hanya dua jam sehari. Kelas sampai sore, kopi bukan lagi secangkir walau aku tahu lambungku takkan mampu menahannya. Makanan sepertinya sudah jarang masuk.

"Sudah tidur? maaf. Sebenarnya ada yang kusembunyikan. Tidak apa kalau mau marah. Ini salahku. Sebenarnya tadi siang aku mimisan, cukup banyak darahnya sulit berhenti. Lalu, ada temanku yang membantu dengan sapu tangannya. Badanku juga cukup tidak enak tadi jadinya dia meminjamkan jaketnya. Maaf kalau terkesan menutupi, aku hanya nggak mau buat khawatir." sebuah pesan singkat kukirimkan, pukul 02.30 ia pasti sudah tertidur lelap. Mataku memberat, tapi tidak kunjung beranjak ke ranjang dan tidur. Terkadang aku menghukum diri sendiri, terlalu keras. Sampai akhirnya aku luka dan sakit karena ulah sendiri. Berputar-putar dalam lingkaran yang sama. Seolah tidak ada tangan yang dapat menarikku keluar dari sini. Kabur pun percuma. Pelarian mana yang mau menampung manusia sepertiku, tidak ada artinya.

Karuna dan BharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang