Chapter 17

38 3 8
                                    

He opens up my door and I get into his car

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

He opens up my door and I get into his car

And he says, "You look beautiful tonight"

And I feel perfectly fine

But I miss screaming and fighting and kissing in the rain

And it's 2 a.m. and I'm cursing your name

So in love that you act insane

And that's the way I loved you

Taylor Swift - The Way I Loved You

***

Sesampainya di cafe tersebut, aku mencari meja Mas Bhara, kami jarang berpindah tempat cenderung disitu-situ saja kecuali kalau sudah ada yang menempatinya terlebih dahulu. Raganya dari belakang masih sibuk menatap ponselnya.

"Hai, maaf telat aku tadi pulang kuliah langsung kesini." ucapku sambil terengah-engah sedikit. Bagaimana tidak aku sudah kepayang panik kalau membuatnya menunggu lama dan kenyataan bahwa aku sebenarnya lupa. Tidak biasanya aku lupa, tapi karena beberapa waktu terakhir aku kerap kali pusing dan mimisan jadi lebih sering aktif dalam diskusi kelompok dan mengerjakan tugas lalu tidur dibandingkan menelponnya atau membalas pesannya dengan cepat.

"Nggak papa, nggak terlalu lama kok. Capek ya? minum dulu." ucapnya sambil memberikanku minum.

Aku minum dan hampir tersedak, belum mampu bernapas dengan baik. Jantungku berdegup sangat cepat.

"Jaket baru?" tanyanya padaku yang masing sibuk minum untuk meredakan kegugupan.

"Hah, nggak kok." ucapku sambil kembali meminum minuman ini.

"Ganti parfum? kaya beda gitu hari ini aromanya." tanyanya padaku. Sungguh, dia benar-benar bisa tahu ada yang aneh atau bagaimana. Aku menaruh minumanku berusaha untuk tetap santai,

"Tadi minta parfum teman, Semarang lagi panas banget makanya aku pinjam parfum teman." jawabku sekenanya, aku yakin jawaban barusan tidak membantu apa-apa.

"Oh gitu, parfum kamu lagi habis?" tanyanya padaku.

"Nggak sih, cuma tadi lagi dia lagi pakai makanya sekalian minta." jawabku lagi-lagi tidak dapat membayangkan bagaimana kalau dia tahu kejadian aslinya.

"Oh gitu, oke." jawabnya.

Kami berdua banyak berbincang, sebulan kedepan mungkin kami tidak dapat bertemu. Ada banyak proyek yang harus dikerjakan dan aku juga masih harus mengerjakan tugas-tugas kuliah. Tapi kami sepakat untuk tetap telepon dan chat.

***

Dikamarku yang luasnya tidak seberapa ini, setiap pojoknya tidak terlalu jauh. Dinding-dinding ini sudah dipenuhi oleh poster dan foto-foto. Aku meratapi sambil menatap langit-langit yang dihiasi dengan tempelan matahari, bintang, dan bulan. Bagaikan kami bertiga. Meski, momenku bersama Mas Bhara lebih banyak sore hari tapi sebenarnya dirinya seperti bintang-bintang yang gemerlapan di langit malamku menemani sosok diriku yang seperti bulan. Dirinya terang dengan cahayanya sendiri, tapi sayangnya dia ada dimana-mana dan aku tidak bisa menebak hadirnya dimana saat ini atau nanti. Dia juga sering tidak terlihat ketika suasana sedang mendung, siang hari pun juga tidak terlihat. Narhu, bagaikan matahari. Meski dirinya tidak terlihat tetapi dia ada disini. Dia menetap di kota ini, bersamaku walau ketika malam ia tidak terlihat. Narhu juga tidak setiap saat bertemu denganku. Tapi lorong-lorong dan kelas yang disinggahinya kusinggahi juga, kami kerap berpapasan walau tidak ada sapaan. Dan aku, bulan. Hidup bersama bintang-bintang setiap malam tapi masih perlu cahaya sang Matahari. Serakah, mungkin itu yang paling menggambarkan diriku. Aku tidak yakin dengan perasaanku sendiri. Menjadi apa dan seperti apa.

Tiap kali aku mengingat mereka berdua, kepalaku seolah akan meledak. Hatiku juga sepertinya tidak semampu itu untuk mengeluarkan mereka berdua disaat bersamaan lalu menata kembali dengan memilih salah satu diantaranya. Hampir berhasil mengeluarkan Narhu. Tapi perlakuannya yang berubah menjadi aneh tadi siang menggagalkan usahaku yang hampir sempurna. Aku benci Narhu begitu. Itu hanya semakin menyulitkanku saja. Kak Echa juga akan membenciku untuk mendengar semua kegalauan akibat dua manusia itu. Dirinya akan semakin memandangku remeh tentang percintaan dan aku hanya akan menjadi bulan-bulanannya.

Pintu terbuka, kebiasaan Ayah yang jarak mengetuk. Ia melihat kepalaku yang mengatung dari tempat tidurku. Mataku bertatapan langsung dengan matanya dengan raut wajah yang kebingungan. Ada apa gerangan dengan anak satu-satunya ini, mungkin itu yang ada di benaknya.

"Ngapain?" tanyanya di ambang pintu.

"Nggak ngapa-ngapain. Ngang-ngong aja." jawabku sambil beranjak duduk. Pusing juga lama-lama.

"Ayo makan dulu." ucapnya lalu beranjak pergi begitu saja. Kebiasaan yang tidak pernah berubah. Meja makan sudah berisikan masakan Mama. Hampir tiap malam Mama memasak, baru kalau terlalu lelah biasanya kami makan diluar atau beli saja dan memakannya di rumah.

"Tadi katanya Mimisan di kampus?" tanya Ayah, aku sudah bercerita pada Mama sepulang dari bertemu dengan Mas Bhara.

"Iya, tapi nggak papa." jawabku sambil mengambil nasi.

Sebenarnya ya, mungkin sudah tidak terhitung aku selalu mengatakan "tidak apa" dan "tidak masalah." walau sebenarnya terjadi sesuatu. Terbiasa untuk memendam dan menyelesaikannya sendiri membuatku terkadang tidak mau memperlihatkan sisi lemahku. Aku mencuci sapu tangan dari Narhu dan menaruhnya di atas meja belajarku tepat dibawa AC kamar agar tidak ada yang tahu sebanyak apa darah yang mengotorinya. Aku baru sadar ketika mencucinya tadi ada nama Narhu tertulis di sana. Senarhu Ravindra Baskara, bahkan namanya saja sudah menggambarkan kalau dirinya seperti matahari.

"Besok diantar Ayah aja nanti pulangnya sama Mama." ucap Mamaku, aku hanya mengiyakan saja. Kami makan di meja makan dengan lahap, aku tidak terlalu banyak bicara malam ini. Rasanya ingin segera ke kamar mengurung diri memandangi tempelan itu lagi.

***

Kak Echa mengatakan padaku, ketika ada seseorang di masa lalu mungkin memang tempatnya ada disana. Jika dia memang terbaik tempatnya ada di sampingku. Tidak salah tapi aku masih sedikit ragu. Terlebih ragu pada diriku sendiri, apakah aku sudah tepat menjadi masa kini dan depan seseorang. Masih juga aku bertanya, jika aku masih banyak mempertanyakan pada orang lain apakah aku sepantas itu untuk dipertahankan dikala pendirianku sendiri masih belum terlalu kokoh. Mas Bhara, perasaan yang sama tapi tidak kunjung tiba pada titik jelasnya. Narhu juga hampir serupa, bedanya dia mulai menunjukkan sesuatu yang berbeda dari hal yang tidak aku suka ketika beberapa saat mengenalnya. Aku orang paling yakin kalau manusia itu sulit berubah dari tabiatnya. Sialnya, aku terjerumus diantara dua bias. Aku tidak tahu apakah Narhu benar-benar berubah menjadi lebih baik atau tidak. Juga apakah Mas Bhara benar-benar akan menungguku. Usia kami terpaut jauh, agak sedikit meragukan bagiku untuk benar-benar mampu menungguku sekian tahun sampai aku selesai kuliah dan siap menikah.

Semakin aku memaksakan untuk dia menghilang nyatanya seringkali kembali. Haruskah aku jujur padamu kalau aku masih sering terbayang olehnya?

Apa ada gerak-gerikku yang kamu tahu itu berbeda karena aku baru saja bertemu dengannya lagi?

Tolong katakan saja padaku, bahwa aku penjahatnya disini.

Gadis gila ini, apakah kamu masih mau menerimanya?

Gadis gila ini juga sedang berusaha untuk lepas dari cengkraman itu.

Karuna dan BharaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora