Chapter 10

44 7 11
                                    

Dibalik hitamnya jaket dan masker yang kukenakan, menemukan sosoknya yang sudah menunggu di mobil hitam

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.

Dibalik hitamnya jaket dan masker yang kukenakan, menemukan sosoknya yang sudah menunggu di mobil hitam. Matanya terperangah kaget melihat pakaianku yang bagaikan penyelundup obat-obatan berbahaya. Hanya dapat menjawab, agar tidak ada yang tahu bahwa aku bersamanya. Dia hanya mengangguk pasrah, bukannya memang bahaya kan kalau ada yang tahu bahwa dirinya menjemput gadis di tempat kerjanya sendiri. Status bangsawannya juga masih sangat rawan untuk memperkenalkan seseorang kalau dilihat banyaknya mata yang mengagumi dan ingin jadi permaisurinya. Sebut saja aku beruntung, mungkin bila tidak selamanya setidaknya aku pernah sekali dekat dengannya.

Kadangkala rasanya lebih menyedihkan dibanding dengan temanku yang walaupun bukan pasangan tapi bisa diajak kemana-mana tanpa perlu takut ketahuan oleh siapapun. Tapi dilain hari aku merasa bersyukur, bersembunyi pun juga tetap menyenangkan bila dengan dirinya. Kalau tidak jadi bersama dia juga rasanya tidak malu kepayang karena belum dibawa kesana kemari. Tapi kalau tidak jadi juga mungkin aku akan menjadi orang paling gila yang pernah dikenal orang jika mendengar cerita pernah dekat dengan pemegang tahta. Kalau mungkin kami jadi, mungkin beberapa orang menyadari dari karya yang kutulis. Dia harapan yang selalu tergores dalam kata kini berubah jadi wujud seutuhnya. Kata itu untaian doa, walau kadang ada sedihnya ujungnya sebisa mungkin bahagia. Kalau belum bertemu bahagianya, maka lanjutkan terus sampai akhir. Bahagia belum tentu bersama mungkin, pernah bersama juga bisa disebut bahagia. Entah, apapun itu hidup dengan bahagia agar sampai di kebahagiaan yang seutuhnya.

"Kamu menginap dimana?"

"Disini, karena dekat Pura." ucapku sambil menunjukkan nama hotel yang akan diinapi.

Dia mengangguk mengerti, Perjalanan dari Stasiun Balapan menuju sebenarnya sangat dekat. Jalan kaki 12 menit juga sebenarnya sampai. Tapi, Mas Bhara mengajak untuk makan malam bersama terlebih dahulu sebelum aku kembali ke hotel. Ramainya restoran namun tidak ada yang menyadari kami. Makan bersama di parkiran mobil berdua, mata tertuju pada pasangan yang makan dengan nyaman di kursi restoran, menyuap manja dengan leluasa. Tanpa perlu takut ada yang mengenali, atau tanpa perlu ada yang ditakuti. Gigitan pertama mungkin masih terasa nikmatnya, gigitan selanjutnya kecanggungan ikut meliputi. Minuman yang dingin membekukan hawa pada kabin mobil yang gelap ini. Hubungan ini gelap, bukan karena ada pihak lain. Tapi dua orang yang tidak mampu mengatakan apapun untuk menerangkan bahwa perasaan ini bila disatukan tidak mengapa. Dua orang pecundang cinta yang disatukan, tidak tahu harus berbuat apa. Sang lelaki ingin menjaga wanitanya, namun sang wanita masih merasa dirinya belum pantas untuk siapa-siapa. Padahal sama-sama belum ada yang punya, tapi mengapa tetap menakutkan.

"Kemarin gimana jalan-jalannya?" tanyanya padaku.

"Setelah Mas pulang malah jadi nggak kemana-mana. Soalnya yang ingin didatangi udah kesampaian semua."

"Jadi Saya merusak rencana kamu ya kemarin?"

"Nggak lah, Malah senang ada temannya." ucapku agak memelan.

"Kenapa ke Jogja sendiri? emangnya nggak ada yang mau nemenin?"

"Susah, orang-orang udah pada sibuk masing-masing. Saya nggak punya kakak atau adik. Orang tua juga kerja, teman juga udah punya urusan masing-masing. Jadi, sendiri aja."

Karuna dan Bharaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن