#23

2.6K 244 285
                                    

Menurut Schopenhauer, seorang filsuf Jerman abad ke-19, seni musik adalah melodi yang syairnya adalah alam semesta.

Karya yang dibalut dalam melodi, dentuman dan harmoni yang membentuk sebuah komposisi indah bagi para peminatnya. Musik bisa menjadi apa saja. Teman. Teman bahagia, teman bersedih, penenang. Unsur-unsur dalam liriknya yang mengandung makna. Bait-bait yang panjang menggambarkan Sahara sang penulis. Serta Goresan tinta tipis yang mampu menciptakan stigma. Menjadi sebuah Soneta berirama. Dan diputar di malam hari di balik jendela dengan rembulan yang indah.

Sayangnya, penikmat musik tak lagi sama.

Genre-genre lawas mulai bergeser. Para ahli berganti. Zaman berubah. Di abad dua puluh satu, tren musik_yang baru terbit_secepat kilat mengisi dunia.

Kpop istilahnya.

Zayyan tahu genrenya. Tahu persis. Apa yang sebenarnya diinginkannya. Dan apa yang ingin ia wujudkan.

Impiannya sederhana. Ia ingin menyanyikan lagunya sendiri. Di depan banyak orang, di saksikan orang-orang yang ia sayang. Ah ya, membawakan lagu seriosa di sebuah opera besar juga salah satu wishlist nya.

Tak mudah untuk mewujudkannya. Ia sadar xodiac tertinggal jauh dengan grup gen 5 lainnya yang sudah memenangkan beberapa nominasi. Namun ia adalah penganut para ahli seni terdahulu dan benar kata tuan Schopenhauer, musik itu untuk dinikmati. Bukan sebagai ajang pamer ataupun unjuk diri. Ia tak ingin mencemarkan nama baik musik. Tapi prinsip itu miliknya seorang dan tak perlu ada yang tahu.





"Apa yang kau lakukan?" Tanya hyunsik di tengah uapannya.

"Ah.. kau bangun?" Zayyan balik bertanya, basa basi. Tak mengalihkan fokusnya dari note berukuran A6 dan pena di pangkuannya.




Baling-balig pesawat terdengar samar menghempas angin kencang diluar sana. Hening malam dalam kabin terasa cukup damai hingga membuat Hyung itu tertidur beberapa menit setelah lepas landas.





"Kau menulis lagu?"



Zayyan mengangguk, "Ya..."





"Lagu seperti apa?" Hyunsik mendekat berharap melihat apa yang zayyan tulis. Namun lampu temaram pesawat dan matanya yang masih buram bekas tidur membuatnya tak bisa membaca apapun.




Zayyan tersenyum. "Tidurlah Hyung. Masih tiga jam sampai kita landing di bandara Soekarno-Hatta"

Hyunsik memicingkan matanya. "Tidakkah kau ingin membocorkan padaku tentang judulnya? Tak akan kuberitahu siapapun bahkan lex"

Zayyan menarik nafas panjang. Menutup memonya hingga menciptakan bunyi, seakan bunyi itu menerjemahkan perasaannya bahwa ia sedang antusias memulai suatu nirmala.




"Waw... Lihat caramu tersenyum. Apa itu lagu cinta?"

Zayyan mengangguk malu. Menoleh menatap jendela dan langit malam diluar sana.

"Ya, judulnya Tara"



.







.







.





Musim gugur menyingsing. Zayyan Leo dan hyunsik kembali ke Korea setelah beberapa hari mengerjakan proyek mereka di Indonesia. Semua berjalan lancar. Menyenangkan dengan kisah kasih, huru hara dan banyaknya kenangan yang tercipta tiap harinya. Kembali ke Korea kali ini lebih menyenangkan ketimbang bulan lalu bagi zayyan. Ia tak mengerti mengapa ia harus merindukan dorm ketika ia berada di Indonesia. Dan tak sabar melihat daun maple pertama yang akan gugur di depannya, menyambutnya dari balik pintu mobil yang menampakkan Korea dan asrama yang ia rindukan.




"jayan-ah"|| XodiacWhere stories live. Discover now