- 04

1.3K 192 70
                                    

Aku memerhatikan layar ponselku. Ini hari jumat. Pagi, pukul 10.00 WIB menurut perhitungan waktu bumi. Meskipun gawai yang belum update IOS ini tak bisa menangkap sinyal dari provider internet yang aku gunakan, sistemnya masih dapat menghitung penanggalan secara offline. Aku melamuni wallpaper lockscreenku; tidak, aku tidak mengeset foto wajah Kaizo sebagai wallpaper, melainkan foto ganteng seunit supercar lamborghini huracan punyanya papi yang terparkir di barisan paling depan garasi rumahku. Aku rindu berkendara dengan si ganteng huracan itu sambil mendengarkan musik reggae melalui Apple CarPlay pada konsol tengahnya.

Kalau sekarang aku ada di bumi, aku akan pergi ngampus. Aku ada jadwal latih tanding basket bersama universitas sebelah yang seringnya gembar-gembor merekalah tim street basketball termantap seantero Jakarta perkara satu personil di timnya ialah seorang Ace dari program pertukaran mahasiwa luar negeri. Aku sudah janji aku akan membantai mereka; bahkan aku berteriak lewat pengeras suara milik badan eksekutif mahasiswa yang dipinjam oleh agen pendemo DPR—kupencundangi kalian nanti, kuhabisi kalian di quarter pertama, begitulah kira-kira kalimat ancamanku. Dan sialnya, aku malah terjebak di planet ini. Aku ngeri sebab aku absen, mereka mengira aku takut.

Tuhan, Aku melewatkan begitu banyak undangan talkshow, ajakan photoshoot majalah remaja dari teman supermodelku, latihan basket, dan kelas dalam perkuliahan. Hari ini juga aku semestinya nongki bersama-sama teman-teman anak orang konglomeratku di Lobbyn Sky Terrace bermanjakan skyview gedung-gedung pencakar langit, merasakan lembutnya tenderloin ditemani tumis pakcoy—makanan standar di lingkup resto daerah Kemang, well—dan membahas gosip terbaru soal satu teman kami yang bokapnya selingkuh dengan seorang pramugari blasteran Vietnam-Indonesia.

Kepalaku menempel di gagang sekop, sedangkan punggungku bersender di rongga pohon berkabium dari pohon aneh mirip pinus.

Aku mengangkat ponselku lagi, menyaksikan pergantian menit pada layar lockscreen. Biasanya, akan ada notifikasi dari mantan nomor tiga puluh satu dan mantan nomor dua puluh duaku pada jam-jam rawan seperti ini. Atau notifikasi pesan semacam 'Udah makan belum?' dari playboy penjilat hartaku yang dengan senang hati aku terima ajakan bermain-mainnya. Aku selalu mengayomi banyak orang, orang baik, orang jahat, orang jahat dibalik topeng orang baik—aku menampung mereka dalam status pertemanan. Ya ampun. Aku kesepian. Tidak ada pesan-pesan dari grup bergunjingku, dari empat puluh tiga mantan-mantanku, dari belasan cowok yang caper padaku, dari fans-fans fanatikku, dari papi, dari Kaizo, dari kurir paket, atau darimana pun. Aku tidak bisa live di Instagram. Tidak ada jaringan. H+ pun tidak.

"Kak (Nama), sedang apa?" Cendapia, satu-satunya spesies jamur cewek diantara saudara-saudaranya menyapaku. Ia duduk di sampingku, lalu ia melipat kaki.

"Aku rindu terlibat dalam pertengkaran bersama mantan-mantanku." Aku curhat.

Senyum Cendapia pudar, kurasa ia tidak mengerti apa maksudku.

"Aku putus dari mantan nomor dua puluh satu karena aku selingkuh dengan mantanku yang nomor dua puluh dua." Terangku. "Biasanya mereka masih nyinyir-nyinyir di Instastory, saling tag sambil melancarkan sindiran."

"Selingkuh?" Bah, Cendapia malahan menhighlight dosaku diantara serangkaian topik asik lain.

"Ya ..." Aku menangkupkan bibir, sambil membuang pandanganku ke arah lahan berantakan di depan. "Oh ya. Aku juga tetiba kangen sama mantanku yang nomor tiga belas. Kita justru putus karena beda agama. Aish, kalau dipikir-pikir, mantanku memang kebanyakannya berbeda keyakinan denganku."

"Beda apa?" Cendapia menatapku serius.

"You mana ngerti, sih. Ini urusan orang dewasa." Aku memijit kening. "Aduh. Ai jadi inget ini hari ulang tahun gebetan ai yang lagi kuliah di UI. Padahal, ai pengen dinner date sama dia di fine dinning."

Boboiboy x Reader | SuperheroWhere stories live. Discover now