- 22

1.4K 206 105
                                    

Lagi-lagi aku dipinjamkan jaket bulu punyanya Ice. Aku duduk di ranjang sembari mengelus-elus lenganku yang setengah membeku karena iklim disini tak bersahabat. Gempa menimpa jaketnya Ice dengan dua lapis selimut, dan ia memelukku dari samping, berharap itu dapat mengurangi keluhanku.

"Masih dingin?" Tanyanya.

Aku menatap kepada perapian. Sebidang bata merah dengan pijar api itu tak cukup menghangatkan keadaan thermal. Malam ini super dingin.

"Bukan masalah." Ketusku. "Pergilah darisini. Jangan naik ke kasur."

"Nanti aku keluar, setelah kamu merasa lebih baik." Gempa menyanggupi. Aku agak meliriknya, aku ingin tahu seperti apa mimik muka Gempa; dia terlihat baik, sehat, tidak sekarat. Gempa tidak bersikeras ingin tidur disini dengan alibi 'ingin menjaga'. Pikiranku lantas bercabang, apa yang dapat membahayakan aku? Nebula saja bisa kubunuh meski dengan menyerahkan segenap keselamatan nyawaku.

"Tidakkah sebaiknya kamu keluar sekarang?" Aku mengusir.

"Dan membiarkan kamu kabur? Begitu?" Aku mendengar sarkasme dari bawah lidah Halilintar. Orang itu masuk ke peraduan ini, tangannya tertaut di belakang punggung, dan air mukanya masam sekali.

Aku mencari back-up dengan sok bersembunyi dibalik punggung Gempa, "Aku tidak suka dia, Gempa."

Halilintar mencanangkan tatapan mautnya padaku. Aku lekas semakin menenggelamkan kepalaku di tulang belakang Gempa, melindungi diri.

Dan aku memanas-manasi, "Tapi kalau dipikir-pikir lagi, kalau itu kamu, Gempa. Aku tak masalah. Kamu boleh tidur disini."

Gempa membisu, dia hanya memerhatikanku sambil tak mempedulikan wajah Halilintar yang diinfeksi kemarahan.

Halilintar mendecak, lalu ia pergi karena sebal. Meskipun takdir mengatakan aku tak akan bercerai dengan orang-orang ini, yang namanya Halilintar itu akan kujadikan kesal.

"(Nama). Maaf ya." Gempa mencuri pergelangan tanganku, "Kami tidak berniat buruk."

Menurutku menghentikan karirku di TAPOS itu niat yang amat busuk. Namun aku mengulas senyum, agar Gempa mau menyambung kalimat pembelaannya.

"Aku tidak ingin kamu kenapa-kenapa. Nebula itu seorang determinasi mutlak." Gempa menelan salivanya. "Setelah kamu mengingatkanku soal TAPOPS, dan Bunda menunjukkanku makam regu Kokotiam, ingatanku pelan-pelan pulih. Sejak saat itu, mimpiku dilimpahi segala macam memori mengerikan. Aku pernah dihajar habis-habisan oleh Borara. Aku dilempar ke luar angkasa oleh Vargoba—aku masih selamat karena nur sistem solar memicu tahap dua dari Cahaya, yaitu Solar, yang menyelamatkan kami. Aku juga hampir mati ketika Retak'ka mewajibkanku mengeluarkan begitu banyak energi untuk Supra. Aku bahkan jatuh ke air. TAPOPS itu amat berbahaya. Jangan kesana lagi, (Nama)."

Tentu saja. Aku bahkan tahu kenapa Boboiboy bisa menang atas Retak'ka. Dari alur cerita eksplisit yang kudapatkan dari orang-orang, si Retak'ka itu mirip seperti aku. Retak'ka termakan kesombongannya sendiri. Dia malah review skin Crystal saat dia bisa mempergunakan Gamma untuk menghancurkan Boboiboy dengan praktis tanpa perlu ba-bi-bu.

"Halilintar itu bodoh. Niat baiknya dalam menyelamatkanmu tak tersampaikan di mulut." Gempa membuang napas gusar. "Dia lebih baik mengantagonisasi dirinya sendiri asal nyawamu terjamin disini."

Aku mengerti. Tapi aku tidak terima. Dan aku tahu suaraku tak akan menang melawan argumentasi sepihak dari Boboiboy sebab dia berorientasi memaksakan gagasannya pada orang lain. Orang waras seperti aku sepatutnya mengalah, mencari jalan keluar dalam ketenangan, tanpa perlu menyumpah-serapah dan memperburuk canggung yang menggantung di udara.

Aku mengangguk.

"Mari tidur." Ajaknya. Gempa membaringkan tubuhnya duluan. Dia tidak meminta jatah pada selimutku; dia tahu diri, tidak seperti Blaze.

Boboiboy x Reader | SuperheroDonde viven las historias. Descúbrelo ahora