- 21

1.4K 207 94
                                    

Aku mengerang. Tubuhku sakit-sakit. Aku menggeliat tidak nyaman. Hari ini, aku mengawali hari dengan sakit pinggang, kebas pada tangan, gejala awal rematik, pegal di sekitar tangan, dan rasa mual karena maagku kambuh.

Naasnya, aku baru ingat seseorang masih mengikatku pada akar merambat yang mengangkat tanganku ke atas. Aku keberatan diperlakukan begini. Katanya dia—Duri dan pecahan-pecahannya—itu menikahi aku karena dia menyukai aku? Kendati begitu, mengapa mereka tega berbuat begini padaku.

"Duri ..." Aku mencengkram kepalan tanganku, aku ingin melatih syaraf-syaraf pada jemariku; syukur-syukur, aku tidak lumpuh. Aku bisa menarik napas lega.

"(Nama)?" Dia menyahut, Duri.

Pandanganku kabur, tapi lambat-laun membaik. Aku mengerjap, dan kulihat Duri berdiri di depanku.

"Sebaiknya jangan terlalu banyak bergerak. Nanti kamu sakit." Katanya, khawatir.

"Sebaiknya lepaskan aku, Boboiboy!" Aku menyentak. "Kamu ini kompleks. Sulit sekali mengerti kamu."

Aku tidak tahu apa manfaatnya mengurungku disini, mencegahku menyelamatkan bumi dari makhluk dengan plasma semu berkemampuan seperti black hole yang bahkan dapat membahayakan planet Rimbara itu sendiri. Apa? Apa manfaatnya?

"Jika saja kamu tidak bilang, kamu berencana mati." Duri menunduk. "Aku tidak akan menjadikan kamu begini."

"Mengertilah!" Aku berteriak nyaring. "Aku punya tanggung-jawab untuk diemban. Aku bukan kamu. Aku bukan pengecut, aku tidak seperti kamu! Kamu, Boboiboy. Kamu kalah, lalu kamu tidak berani datang mengakui kekalahanmu. Kamu penakut, kamu malah bersembunyi. Aku memang kalah telak dari Nebula, tapi aku menerimanya, aku akan mencoba lag—"

"Kamu tidak tahu rasanya kehilangan kawan-kawanmu." Duri mendesis. Dia berubah menjadi Boboiboy. Dia mampu bersatu dengan kendali penuh; Boboiboy tak memiliki masalah dengan jam kuasanya, dia mampu memfungsikannya.

"Kamu ingat?!" Aku membentaknya lagi, pupilku mengecil, tekanan darahku naik, nadiku cepat, dan aku dilanda kebakaran di dadaku. Boboiboy tahu bagaimana satuan tugasnya dibantai oleh Nebula, dipreteli tulang-tulangnya, dibunuh satu per-satu; tapi dia tidak menunjukkan ritme melankoni dalam tone suaranya.

"Kamu tahu, temanmu dihabisi. Tapi ..." Aku memandangnya rendah. Aku menyipitkan mata, memiringkan kepala, memelototinya dengan penuh caci-maki. Aku salah. Aku tak sepatutnya membentengi diriku. Dia layak memperoleh dampratan. "Kamu tak berusaha membalaskan dendam mereka pada Nebula."

"Nebula." Boboiboy mematung. "Nebula, ya. Kamu tidak bosan menyebut namanya. Nebula."

Boboiboy membelakangiku. "Nebula. Nebula lagi."

Dan ia kembali padaku, membancangkan pandangannya padaku, "Apa di pikiran superheromu itu, kamu hanya mengedepankan Nebula? Tidak adakah ruang untukku disana?"

Aku bisa mengampuninya, jika Boboiboy tahu situasi. Dia buta, kah? Ini keadaan genting dimana galaksi dapat melebur jadi residu yang tertinggal di baju astronot. Dan dia malah mengesampingkan keselamatan nyawa jutaan orang di bumi, di planet-planet lain, dan di orbit galaksi lain.

"Tanah kelahiranmu bisa saja hancur." Aku mencebik. "Dan kamu masih sibuk dengan cinta, Boboiboy?"

Kalau dia tidak amnesia, aku yakin dia ingat dimana dia lahir. Tidakkah dia ingat siapa saja keluarganya? Dia tidak merindukan salah satu diantara mereka?

"Pikirkanlah juga tentang aku, (Nama)." Boboiboy yang ini, Boboiboy dengan sifat tenang dan bijaksana, kini terlihat lebih tidak kooperatif. "Berikan sedikit saja kasih sayang padaku. Aku ingin diperhatikan. Aku sangat ingin."

Boboiboy x Reader | SuperheroWhere stories live. Discover now