- 08

1K 167 57
                                    

Kubuat mekanisme mesin jet melingkupi pergelangan kakiku. Kemudian aku berlari dengan tekanan api turbo dari set zirah itu.

Arumugam yang satu itu bodoh sekali. Berani-beraninya dia bilang pesawatku sudah selesai diperbaiki. Alangkah bodohnya. Tentu saja aku akan melarikan diri dari planet dengan retardasi ilmu pengetahuan ini.

Aku telah berlari cukup jauh, sesekali aku menoleh ke belakang, aku ingin lihat apakah Arumugam mengejar atau tidak. Sebetulnya itu mustahil. Seorang pria pincang tak bisa menyetarai laju mesin jet. Kecuali dia menaiki Aston Martin Vantage GTE dan mengakselerasikan kecepatannya dengan maksimal horsepower mesinnya.

Aku mendecak, lalu aku tertawa. Tawa ini merepresentasikan kebebasanku.

"Ha ha! Si bodoh itu bodoh sekali! Ha ha! Ha ha ha ha. Sasagey—"

Brak!

Aku mencium tanah. Aku jatuh bukan karena aku tersandung batu atau hambatan apapun. Aku tahu pasti. Aku memuntahkan pasir yang kebetulan masuk ke rongga mulutku.

"Bah! Huek." Lalu aku batuk-batuk. Kesialan macam apalagi yang baru saja aku dapatkan dari Tuhan? Dahiku berkerut. Kemudian aku merasakan hembusan angin di sebelah kiri tubuhku. Itu terjadi begitu cepat.

Hentakkan kaki mendadak menginterupsi pengelihatanku. Dua onggok sepatu menyambutku tepat di depan batang hidung. Kurasa aku salah lihat; aku menyaksikan adanya percikan-percikan kirana yang mengalir dan berkelindan di udara, menyerupai arus listrik energik wana merah sangria. Aku pelan-pelan menengadah, aku menyusuri siapa pemilik kaki itu.

"H-halilintar?" Aku meneguk cudah. "Bukannya you ada di belakang?"

Kecepatan apa yang dapat menyaingi mesin jetnya Mechabot? Tidak. Aku tidak boleh irasional. Baiklah, dia bisa saja melewati jalan pintas untuk mencapai titik ini; siapa tahu, 'kan?

Halilintar tak mengeluarkan makian apapun dari mulutnya.

Leherku menoleh kepada kakiku. Ah. Aku tahu kenapa aku bisa jatuh tersungkur; sulur tanaman mengikat kaki kananku, dan menghentikan larianku.

Aku tidak tahu, ada planet di galaksi ini yang jenis tanamannya dapat memiliki karakteristik fotonasti sebrutal itu.

Halilihtar lalu berjongkok, dan meraih daguku, dia menjadikan aku agak mendongak agar aku dapat bertatapan dengannya.

"Kamu tidak akan pergi darisini." Finalnya, penuh ancaman.

-

"Planet bajingan macam apa ini." Aku bersungut-sungut.

Halilintar itu bajingan, kondisi munisipalitas planetnya juga bajingan. Begitu pula dengan sulur tanaman bajingan satu ini. Sulurnya mengikat kakiku. Aku telah mencoba berkali-kali menyayatnya, tapi dia tumbuh lagi, dan kembali mencengkram kakiku.

Aku membuang tanah di sekop ke lubang silindris yang terbentuk karena seretan jangkar pesawat luar angkasaku. Sudah. Ini ayunan terakhir. Aku mau istirahat.

Kejadian kemarin menjadikan aku lumayan badmood. Aku dikalah—aku sangaja mengalah pada duel melawan Blaze. Yah, kasihan dia. Siapa tahu Blaze ingin sekali menang dan aku memberikannya cuma-cuma. Sungguh murah hati aku ini. Aku akui, aku memang sangat baik. Tidakkah aku terdengar seperti bidadari cantik jelita yang baik hati dan tidak sombong dan amat pemurah? Senyum terlukis di wajah capekku.

Oh ya ampun. Kalau dipikir-pikir, kurang apalagi aku ini? Baik iya, dermawan iya, jago ini itu iya. Apa aku paket lengkap Mcd? Mengapa aku sesempurna ini?

"Kamu, kenapa cengar-cengir?" Ujar seseorang.

Leherku menoleh padanya.

"Eh, ini ..." mataku menyipit. "Oh. Gempa?"

Boboiboy x Reader | SuperheroWhere stories live. Discover now