- 09

1K 176 35
                                    

Kadang-kadang aku juga bisa jadi rajin. Seperti sekarang contohnya. Aku bercermin—tidak, aku tidak sedang mengaggumi diri sendiri seperti biasanya. Aku menggosok-gosokkan rambutku dengan tunik berbahan handuk, bermaksud mengeringkannya. Aku mandi pagi.

Itu jarang sekali terjadi. Apalagi mandi disini tidak difasilitasi oleh bathub pirus murni, water heater, apalagi jacuzzi. Tidak ada sabun susu kambing, tidak ada sabun gliserin beraroma terapi, tidak ada hair dryer untuk rambutku. Aku hanya merasa gatal karena tanaman ajaib planet ini masih mengikatku pada bagian pergelangan kaki.

"Kata-kata manis apalagi yang bisa aku lontarkan supaya Arumugam bersaudara jadi jatuh hati padaku?" Aku mendiskusikan hal ini dengan diriku sendiri. Di keseharianku, sejujurnya aku jarang bicara kecuali untuk menggunjingkan orang. Orang-orang, khususnya golongan penjilat, memang suka bermanis-manis padaku—konteksnya, aku membicarakan para pria. Tapi merekalah yang selalu memulai. Bukan aku.

Aku hanya perlu menanggapi prosa puisi mereka dengan prilaku manis lainnya. Sesungguhnya, aku tak begitu berpengalaman menjadi seseorang yang dominan dalam hubungan romansa. Tapi di keadaan ini, aku dipaksa belajar.

"Oh Arumugam. Andai kamu tahu siapa aku." Aku menggeleng-geleng. Andai dia tahu, aku putri seorang pewirausaha dengan tahap bisnis Decacorn bernilai valuasi sangat tinggi. Hidupku empat sehat lima miliar. Aku terkenal, aku tenar. Andai saja dia tahu, apa dia akan memperlakukanku secara lebih baik?

Padahal aku sudah menginformasikannya—mengenai jumlah kekayaanku dan betapa didambakannya aku—tapi dia tetap tak bersikap mengayomiku sama sekali.

Tok tok tok

Pintu kamarku digedor dari luar. Ketukannya cepat, memperlihatkan betapa tidak sabarnya si pengetuk. Ini kediaman Arumugam bersaudara. Bahkan caranya memanggilku keluar kamar dapat aku jadikan sebagai bahan identifikasi; itu Halilintar.

Siapa lagi kalau bukan Halilintar. Orang itu pemarah dan tidak bisa diajak bercanda.

Dengan kondisi handuk masih membebat rambutku, kubuka pintunya.

"Pagi, Sayang." Aku menguap. "Ada apa, Halilint—oh. Ini ... Taufan, ya?"

Aku salah mengira. Ini Taufan. Kalau tidak salah, dia urutan nomor dua dalam silsilah persaudaraannya Arumugam. Aku belum begitu mengenalinya. Aku rasa dia orangnya ceriwis dan suka teriak-teriak; selama aku tidur, aku menguping sejumlah keributan. Dan suara cempreng pria ini mendeterminasi percakapan. Mereka—tujuh bersaudara ini—meributkan soal siapa yang akan jaga malam di sejenis poskamling desa para alien jamur. Taufan tidak mau, dia menolak, dia bilang dia tidak tahan menahan kantuk. Halilintar diam, karakter suaranya yang lebih bariton dan melankoni ketimbang saudaranya tak sama sekali kudengar dari kamarku. Gempa berupaya preventif terhadap keributan, dia menyediakan berbagai saran namun selalu langsung dibantah oleh Blaze. Ice sesekali bicara, dia lebih tenang dan bahkan bersedia mengalah. Duri hanya berceloteh diluar bahasan topik, dan Solar marah-marah.

Baru sehari aku disuruh menginap disini, dan aku sudah seperti disuguhkan konflik rumah tangga orang.

"Makan dulu, yuk." Ajaknya.

"Oh. Oke. Ayo, Sayang." Aku membuntutinya.

"Kenapa kamu panggil aku sayang sayang begitu?" Tanyanya.

"Hah?" Aku melongo. Ketololan macam apalagi ini? Kenapa dia tidak menangkap apa maksudku?

"Karena ai sayang you." Aku repot-repot menklarifikasi. Taufan duduk di kursi di depan meja makan yang tak berpenghuni. Kurasa disini hanya tersisa Taufan—dan Ice di kamarnya.

"Aku bingung." Taufan curhat. "Kenapa sih kamu bertingkah seperti ibuku?"

"Hah?" Aku mempertajam telinga. Aku takut akulah yang salah dengar. "Maksudnya?"

Boboiboy x Reader | SuperheroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang