- 18

1.2K 195 64
                                    

Sulit menjelaskannya. Aku menghembuskan napas sembari mendaratkan daguku di meja, "Aduh. Susah sekali mentranslate ini ke kata-kata. Saat aku tahu—atau setidaknya, ketika aku mulai curiga, dia Boboiboy. Kepalaku pusing."

Kaizo bersedekap. "Tentu saja. Kamu malu."

"Reputasi dan martabatku sudah seperti telor asin yang terinjak oleh sepatu yang ketempelan tahi ayam! Aku tidak tahu bagaimana caranya menyelamatkan diri dari rasa malu. Aku nggak ada harga diri lagi andaikata si Boboiboy itu tidak amnesia. Tuhan masih menolongku sedikit." Aku lalu meneggelamkan kepalaku diantara lipatan lenganku. Aku mengeluh sambil sok menangis, "Tahu tidak, Kaizo? Aku bilang begini pada Blaze dulu. Kamu pilih aku, atau Boboiboy. Kan, tolol. Aduh! Bajingan, lah. Aku tak ingin bertemu mereka lagi. Aku selalu mengingat apa yang telah kuperbuat; Kaizo! Aku bahkan menekankan kalau aku anggota TAPOPS tersohor dan aku mengatainya warga sipil planet hutan belantara—aku mengejeknya kampungan, aku bilang aku ... aku, a-aku superhero paling oke di TAPOPS. Seperti apa tanggapannya jika dia ingat, karirnya melejit lebih bagus ketimbang aku karena dia mendedikasikan diri di TAPOPS sejak masih SMP?"

Aku tak bisa move on dari rasa malunya. Bahkan sebelum tidur, saat aku sudah melindur dan akan betulan akan jatuh ke alam mimpi, ingatanku mengilas balik kejadian-kejadian dimana aku memaki Boboiboy sampai cudahku keluar di depan Laksamana Tarung, Komander Kokoci, maksmana, papi, Pak Bos Amato, dan para alien mop-mop. Aku mengatakan, aku lebih hebat, jenius, keren, terkenal, dari Boboiboy dan semestinya akulah yang perlu mereka elu-elukan. Aku bahkan sesekali menyebutnya mayat di depan orang-orang sambil mengutarakan orientasi stetmen mengejek kematiannya. Dan setelah kelakuan-kelakuan tolol itu, aku tak punya muka untuk kembali ke TAPOPS dengan membawa kabar bahwa aku dinikahi orang itu.

Aku menjenggut rambutku sendiri. Tiap-tiap kali aku mengingat bagaimana aku mempermalukan diri, aku guling-guling di kasur sampai aku jatuh dan aku melukai sum-sum tulang belakangku. Aku juga membenturkan kepalaku saat berada di jamban tatkala bila aku melamun, aku tiba-tiba ingat macam-macam keidiotan-keidiotanku di masa lampau.

"Jadi dia belum ingat sepenuhnya?" Kaizo malah mewawancarai aku.

"Ya. Itulah memang. Padahal secara medis, aku yakin kasus ini mustahil." Aku berdeham. "Ingatannya sepotong-sepotong. Menurutmu kenapa?"

Kaizo menggeser dipannya ke belakang, dia berdiri, dan dia memandang ke pemidang yang dijemur di sepetak bingkai bubinga. "Dia berpecah terlalu lama. Ingatannya kabur."

"Oh." Aku mengangkat kepala, "Kalau begitu tak akan kubiarkan dia bersatu jadi Boboiboy. Supaya dia tidak ingat kalau dia superstar TAPOPS, dan malu-ku tak lantas bertambah."

"Mana bisa begitu," Kaizo lekas menoleh ke arahku, "apa itu hanya akal-akalanmu saja supaya tetap dapat dimanja oleh tujuh ora—"

Duk duk duk!

"—astaga." Kaizo memijit kening. Dia tidak jadi memfitnahku, Kaizo lebih memilih seseorang yang menggedor pintu.

Siapa, nih? Kalau boleh suudzon, itu Halilintar. Aku meminjam topinya karena topinya bagus. Halilintar bisa saja kemari untuk menagih pengembalian barang pribadinya.

Aku memutar mata malas.

"Kenapa, em," Kaizo berusaha mengenali siapa itu, "Ice? Ice."

"Kalian ngapain di dalam?" Ice bertanya, mukanya kecut.

Aku berdiri pongah. Kami tak lebih dari sebatas bergosip sambil curcol-curcol dikit. "Hah? Pakek nanya. Kami—para intelektual ini—sedang membicarakan siasat taktis untuk mengalahkan Nebula. Kami menyusun banyak sekali planning jenius, lah. Ini pertemuan antar dua orang penting TAPOPS."

Boboiboy x Reader | SuperheroWhere stories live. Discover now