- 10

1.1K 183 59
                                    

Brak!

Aku membanting keranjang anyaman berisi lamun-lamun yang telah dikeringkan. Aku sendiri tidak tahu lamun itu sesungguhnya alga jenis apa, aku tak mengerti mengapa akarnya rimpang dan bagaimana cara makhluk laut ini memberlakukan proses penyerbukan di Teluk dengan genus tumbuhan lain.

Taufan menyuruhku membawanya ke bunda. Dia aneh sekali. Dia bilang dia menyukaiku, tapi dia menjadikan aku pesuruh. Ini ada diluar konsep nalar logikaku. Ketika seorang laki-laki mencintai aku—atau secara gamblang mencintai uangku, mereka akan berada di sekelilingku ketika aku sedang menenggak Jose Cuervo Reposado di superclub Bali dan memanjakanku. Mereka memanjakan aku. Bukan memerintahkan aku kesana kemari.

Honestly speaking, ini justru terasa agak janggal. Aku belum menjumpai motif kejahatan Taufan. Disini, di planet dimana jenis floranya memiliki sistem fotosintesis yang aneh-aneh ini, aku tak bisa menarik cash dari mesin anjungan tunai mandiri mana pun; simpelnya, aku miskin. Aku tak dipersenjatai uang.

Seampuh itukah gombalanku hingga aku dapat menakhlukannya tanpa mengiming-iminginya dengan uang? Tapi aku belum begitu genit pada Taufan. Aku hanya berpapas pandang dengannya tanpa berdialog. Apa dia terpesona padaku secara praktis kala ia merasakan betapa kharismatiknya diriku ini?

Aku menyemburkan tawa. Mengapa aku mesti mempertanyakannya ketika itu sudah jelas terindera? Aku cantik, aku baik, aku serba mumpuni; tidak perlu kucari tahu lagi kenapa Taufan bisa menyukai ak—bajingan! Aku tidak bisa berhenti berpikir!

Hah. Aku butuh Bali. Aku perlu mencelupkan kakiku yang sudah lama tidak dilulur ekstrak licorice ini ke infinity pool-nya Vue. Aku rindu menikmati ramuan unik bar saat musisi akustik dan DJ memutar R&B di tengah gemerlap malam pada tebing kapur sambil menyesap margarita semangka tanpa jeruk nipis. Aku juga rindu berat pada Jakarta. Rumahku ada disana. Teman-temanku ada disana. Aku mau memgunjungi M Bloc Design Week lagi meskipun aku cuma sok-sokan; tahu seni pun tidak. Kalau ditanya kenapa aku sering hadir di pameran seni atau Concert Orchestra, awarding event para maestro, padahal aku bukan peminat seni secara partikuler, jawabannya hanya satu; yakni karena kebutuhan sosial.

Lagi pula teman-temanku pun sama parahnya.

Lebih parahnya, mereka senang sekali menggelar syukuran kesuksesan bisnis yang menurutku tidak ada artinya. Tentu saja para perintis start-up itu hanya sok sibuk. Mereka pura-pura bolak-balik ke luar negri supaya dianggap tidak jadi pengangguran di lingkup pergaulannya. Padahal binis start-upnya fiktif dan hampir mogok karena anak-anak orang kaya itu tidak becus mengkoordinirnya. Akhir-akhirnya setelah mereka capek bersandiwara, mereka akan beralasan bisnis bodong itu kolaps karena masalah inflasi, lalu curhat di Valhalla sambil caper ke mbak waitress disana.

Hidupku sangat berbeda. Saat ini aku jarang gosip. Aku tak memenuhi dahaga minatku atas industri musik EDM. Aku malah menjadi petani disini.

Aku mengusap peluh. Aku benci mengerjakan aktifitas non-profit—aktifitas yang tak menghasilkan duit.

"Tapi aku ingin tahu aku siapa, Bunda." Suara itu mendadak terdengar di telingaku. Ini suaranya Halilintar. "Bolehkah aku mencari tahu dari gadis TAPOPS itu—siapa namanya? Oh, (Nama)."

Aku mengendap-endap ke pintu ruang keluarga, lalu mengintip apa yang terjadi di dalam sana. Oh astaga. Itu Halilintar dan Bunda. Mereka tengah berbincang di sofa Mid-century yang menurutku busanya kurang empuk.

"Aku rasa (Nama) dapat menghubungkanku ke masa laluku." Kata Halilintar lagi.

Aku tak sama sekali merasa familiar dengan Halilintar atau saudara-saudaranya yang lain. Aku jamin. Aku hanya orang TAPOPS yang kebetulan juga sama-sama manusia. Kupikir sangat gegabah untuk mengandalkanku sebagai sumber informasi pemulih ingatan. Punggungku bersender di tembok, aku semakin berkonsentrasi mendengarkan percakapan di dalam.

Boboiboy x Reader | SuperheroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang