- 16

1.1K 199 84
                                    

"Ini putrimu?" Amato memperlihatkan senyum kasualnya.

Papi mengangguk, dia lalu menyuruhku duduk di sebelahnya. "Cantik, 'kan?"

"Ya, sungguh. Gurat-gurat dan kontur wajahnya sangat menyerupai kamu, Pian." Amato mendecak-decak. "Kamu yakin akan menyerahkan anak perempuanmu untuk berkarir di TAPOPS? Ini pekerjaan berat."

Tidak ada alasan lain bagiku untuk menerima tawaran ini selain sebab aku menyukai Iron Man. Aku menyukai kepahlawanannya dan bagaimana caranya memimpin tim. Meskipun di seri Avengers, Endgame, dia meninggal karena Infinity Gauntlet terlalu kuat untuk manusia seperti Tony. Aku amat mengidolakannya. Bahkan di kematiannya sekalipun, Iron Man—Tony Spark—tetap terlihat keren. Seburuk-buruknya sifatku, aku juga memiliki kekaguman yang reguler terhadap protagonis heroik.

"Dia sangat menyukai Tony Spark." Kata papi. "Dia berusaha menirunya sampai dia berjuang memperoleh kursi di jurusan teknik mesin pada jenjang perkuliahannya. Katanya, dia ingin mengikuti jejak Spark; meniti profesi sebagai ahli engineer."

Amato tampak mengelus dagu, "(Nama)."

Oh. Itu aku. Aku dipanggil olehnya. Aku lantas menyahut, "Y-ya?"

"Kamu ingin menjadi si Spark?" Tanyanya.

"Ya. Dia pahlawan besar." Aku terkekeh. Aku tahu aku terdengar seperti bocil kematian player Freefire yang memuja Marvel karena belum menstruasi dan pikirannya masih soal bagaimana caranya menghindari upacara bendera pada hari senin.

"Tapi dia mati." Ujar Amato.

"Dia mati usai mengalahkan Thanos di Infinity War." Tuturku. "Kalau bukan Iron Man, siapa lagi?"

Amato menatap papi, lalu ia kembali mengulum senyum padaku, "Apa kamu suka bagaimana Iron Man bertransformasi jadi manusia Mecha yang bisa terbang dan mengaluarkan misil serta peluru kendali?"

Aku mengangguk antusias. Aku bahkan merasakan pipiku menghangat.

"Alien merealisasikan Nanotech itu, (Nama). Mereka menghubungkan sistem neuron di tubuh kita dengan teknologi super mikro—yakni teknologi nano ke dalam benda ini." Amato menjentikkan jari. Dan seoongok benda bulat yang mengambang di udara muncul dari arah dapur. Benda itu robot bercat merah metalik. "Namanya power sphera."

Nama itu tidaklah asing. Aku tahu power sphera memang menyediakan berbagai fitur adendum ajaib bagi kekuatan fisik manusia. Yang satu ini berwajah angkuh, dan berwarna dominan merah gelap. Dia memiliki tangan yang panjang, dan dimodelkan dengan bentuk dasar bulat sebesar bola basket.

"Aku sudah tua." Aku Amato. "Maukah kamu melanjutkan karirku?"

Aku diam sebentar. Lalu aku bertanya pada papi dengan memandangnya. Papi hanya mengulas senyum; dia menyetujuinya. Sebetulnya papi cukup protektif terhadap anak perempuannya. Aku anak satu-satunya yang amat disayanginya. Aku merasakan limpahan kasih sayang orang tuaku dengan berbagai problema restrict parents. Tapi entah mengapa ketika aku bilang aku ingin mendaftarkan diri ke TAPOPS, senyum papi mengembang. Papi mengatakan bahwasanya ia bangga padaku dan mau mensupport aku. Papi membuktikan lisannya. Papi merekomendasikanku langsung ke orang besar TAPOPS satu ini—Amato namanya.

"Kalau ya, coba gunakan ini." Amato mencopot jam di lengan kanannya. Dia lalu memintaku mengulurkan tangan. Aku menatap papi lagi, menunggu izinnya. Papi mengangguk. Lalu aku menuruti permintaan Amato. Tanganku terangkat lurus sejajar dada, dan kemudian Amato menggelangi aku dengan jam berbingkai titanium itu.

"Operasikan." Titah Amato.

Aku menyentuh jamnya. Kurasa aku baru saja diberikan power sphera. Aku hanya mengerti konsepnya. Dalam praktiknya, aku tidak tahu caranya agar aku dapat mengaktivasi benda ini. Aku merasa asing. Namun aku mau mencoba, aku memutar bezelnya, kemudian secara otomatis, hour makernya bergerak sendiri.

Boboiboy x Reader | SuperheroWhere stories live. Discover now